Proyeksi Partai Dalam Pemilu 2009

Posted by F.SP.LEM - K.SPSI KAB.TANGERANG

Sumber : PUK PT.Wooil Indonesia

Pada Tanggal 7 Juli 2008 yang lalu Komisi Pemilihan Umum (KPU)mengumumkan 34 Partai politik nasional dan enam partai politik lokal di Aceh yang akan mengikuti pemilu 2009, berbeda pada pemilu sebelumnya yaitu pada tahun 1999 yang diikuti oleh 48 partai politik , pemilu 2004 24 parpol


Banyaknya parpol yang lolos verifikasi untuk tahun 2009 merupakan hasil dari "politik dagang sapi" pada proses legislasi yang menghasilkan undang-undang nomor 10 tahun 2008 tentang pemilu anggota Dpr, Dpd dan Dprd, antara lain yang berbunyi , 16 parpol yang memiliki kursi di DPR otomatis menjadi peserta pemilu 2009, ditambah 18 parpol baru yang baru lolos verifikasi dan 6 partai lokal Aceh dibolehkan ikut pemilu legislatif.

Masa kampanye pemilu 2009 yang dimulai 12 juli 2008, berlangsung 8 bulan lebih lama dibanding masa kampanye sebelumnya, untuk melalui tahapan kampanye tidak tanggung-tanggung diperkirakan menghabiskan dana Triliunan rupiah oleh seluruh partai nasional dan lokal.

Sebagai contoh partai golkar menyiapkan Rp 200 miliar untuk kampanye hingga april 2009, partai keadilan sejahtera sudah membagikan uang jutaan rupiah kepada UKM sebagai modal kerja sebelum kampanye 12 juli 2008 (the jakarta post, 9/7/08) dana kampanye darimana-mana, iuran anggota, donasi individu, atau perusahaan dan lainnya.

Menurut survei indo barometer Desember 2007 menunjukkan, bagi 88,2 persen responden , 24 parpol dinilai terlalu banyak. Idealnya , kata survei itu Indonesia hanya memiliki lima parpol (24,0 persen), tigaparpol (21,6 persen) atau maksimal 10 parpol (18,3 persen).

Survei Indo Barometer tanggal 9 Juli 2008 pada 33 provinsi atas 1200 responden, berikut adalah tujuh besar partai pemenang pemilu 2009 :

1. PDI-P (23,8 persen)
2. Partai golkar (12,0 persen)
3. Partai Demokrat (9,6 persen)
4. Pks (7,4 persen), Pkb (7,4 persen)
5. Pan (3,5 persen)
6. Partai Hanura (2,3 persen)
7. PPP (1,6 persen)

Selebihnya menurut survei Indo Barometer sekitar 29,4 persen pemilih yang tidak akan menggunakan hak pilihnya, menurut pakar politik Ikrar Nusa Bhati ( Profesor Riset di Pusat Penelitian Politik Lipi ) , persepsi masyarakat tentang parpol hanya merupakan alat mobilisasi massa , perekrutan, dan sosialisasi calon anggota legislatif atau pemimpin, menjadi saluran kekuasaan , tetapi belum menjadi sumber identitas politik para pemilihnya.

Bagi rakyat Indonesia demokrasi bukan lagi sekedar prosedur , tetapi bagaimana menata Indonesia kedepan yang lebih baik , anak cucu dapat menikmati kesejahteraan, rasa aman dan martabat Indonesia yang semakin tinggi di mata Internasional.

Baca Selengkapnya untuk Proyeksi Partai Dalam Pemilu 2009...

Masa Depan Koperasi Di Indonesia

Posted by F.SP.LEM - K.SPSI KAB.TANGERANG

Koperasi Di Indonesia pada masa Liberal ekonomi saat ini kurang eksistensinya dibandingkan di beberapa negara di benua eropa , dahulu Mentri perdagangan dan Koperasi tahun 1978-1983 Radius Prawiro bersama Bustanil Arifin Mentri Muda Koperasi saat itu pernah berkunjung ke negeri Skandinavia (Denmark, Swedia dan Norwegia) mengagumi berbagai jenis koperasi disana


Justru Koperasi di negara tersebut maju dan berkembang tanpa adanya Undang-undang Koperasi dan Mentri Koperasi. Nah sekarang bagaimana keadaan koperasi di Indonesia dibandingkan dengan negara tersebut , dimana terdapat Mentri Koperasi dan undang-undang Koperasi walhasil Koperasi di Indonesia hanya berjalan ditempat walaupun berbagai upaya telah dilakukan. Dari kedudukan politis dan strategis dalam UUD 45 , pembentukan Dekopin serta perlindungan dan fasilitas yang berlimpah tetap juga tidak menjadikan koperasi sebagai saka guru perekonomian nasional dan mensejahterakan rakyat Indonesia.

Kalau kita melihat dan berkaca kepada Koperasi di luar negeri menurut sumber dari International Cooperative Alliance yaitu wadah gerakan koperasi International menyajikan profil 300 koperasi kelas dunia , berasal dari 28 negara yang turn-overnya mulai dari 63,449 juta dollar AS hingga 654 Juta dollar AS, yang terdiri dari sektor keuangan (perbankan, asuransi, koperasi kredit) sebesar 40 persen.

Koperasi pertanian termasuk kehutanan 33 persen, koperasi ritel/wholesale 25 persen, sisanya koperasi kesehatan, energi, manufaktur dan sebagainya. Dari 300 koperasi itu 63 ada di AS, 55 di Perancis, 30 di Jerman , 23 di Italia, dan 19 di Belanda.

Sedangkan di Asia koperasi yang terbaik pada urutan pertama diduki oleh Jepang yang turnovernya mencapai 63,449 juta dollar AS dengan asset 18,357 juta dollar AS pada tahun 2005, lalu pada urutan kedua diduduki oleh Korea Selatan , dan seterusnya , India, Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam dan Philipina, sedangkan Indonesia hingga sekarang belum memenuhi syarat untuk masuk dalam International cooperative Alliance, mengapa bisa demikian ?

Pada masa orde lama koperasi menjadi alat politik pemerintah dan partai dalam rangka nasakomisasi. Pada masa orde baru koperasi menjadi alat dan bagian integral pembangunan perekonomian nasional yang dilimpahi bermacam fasilitas. Kebijakan yang menempatkan peran pemerintah amat dominan dalam pembangunan koperasi menjadikan gerakan koperasi amat bergantung pada bantuan luar , hal yang amat bertentangan dengan hakikat koperasi sebagai lembaga ekonomi sosial yang mandiri, ketergantungan tersebut masih berasa hingga sekarang pada jaman reformasi, yang lebih parahnya lagi Dekopin dengan Mentri negara urusan koperasi dan UKM yang seharusnya bersama membangun koperasi seperti negara tetangga sulit terjadi karena masing-masing memiliki agenda sendiri. Akibatnya pembangunan koperasi tak terarah.

dalam pembangunan koperasi , kita perlu belajar dari pengalaman pahit selama ini , sekaligus belajar dari keberhasilan negara lain mengembangkan koperasi ?

Sumber : Djabarudin Djohan (Ketua Lembaga Studi Pengembangan Perkoperasian Indonesia
(LSP2I)

Baca Selengkapnya untuk Masa Depan Koperasi Di Indonesia...

Jangan Salah Memilih Partai, Baca ini Dulu

Posted by F.SP.LEM - K.SPSI KAB.TANGERANG

Sumber : PUK PT.Wooil Indonesia
Pemilu 2009 nanti , akan bertambah semarak karena akan diikuti 34 peserta diantaranya 16 partai dan 18 partai baru , sebelum partai apa yang akan kita pilih nantinya , berikut adalah Tip dan Triks sebelum pencoblosan agar tidak menyesal di lain waktu


dari banyak partai tersebut , untuk memilih kita harus tahu bagaimana program dan prinsipnya partai, orang-orang yang ada didalamnya, dan kerja nyata partai yang bersangkutan di masyarakat maupun untuk masyarakat sejak partai itu didirikan .

Partai politik diibaratkan sebagai alat untuk mencapai tujuan , alat sebaik apapun dia bergantung pada pengguna dan daya dukung yang memungkinkannya bekerja dengan baik , tanpa itu semua alat termasuk partai politik tak lebih dari seogok barang yang hanya layak berada di tempat sampah .

Alat dan tujuan, dua hal yang tak terpisahkan. Entah untuk tujuan baik atau buruk, tetap memerlukan alat untuk mencapainya. Demikian pula partai politik. Bisa digunakan untuk tujuan baik sekaligus buruk, dalam makna, hanya dijadikan sebagai alat untuk meraih kepentingan golongan atau segelintir elitnya.

Untuk mengenali partai - partai yang benar-benar hendak memperjuangkan kepentingan rakyat tanpa pandang bulu berikut adalah point-point yang patut kita miliki sebagai pemilih adalah sebagai berikut :

Pertama, Membuang jauh - jauh berbagai ilusi yang mengklaim bahwa partainya mengaku sebagai kaum demokrat, mampu berkarya, menjungjung tinggi hati nurani, membela wong cilik,
memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan , mengemban amanat nasional, berjiwa
pembaharu, menjunjung kebangsaan persatuan dan sebagainya.

Kedua, bisa mengenali dengan jernih partai-partai yang hanya bekerja atau mendekati rakyat pada saat menjelang pemilu. Artinya, jangan mempercayai, apalagi memberi dukungan pada partai-partai yang tiba-tiba akomodatif terhadap kebutuhan rakyat. Contoh, partai atau individu-individu dari partai tertentu yang mengobral janji dan sumbangan perbaikan jalan serta sarana umum lainnya saat menjelang pemilu. Atau parati politik yang menyuap pemilih agar memilih partainya. Jangan pernah mempercayai partai politik seperti itu, sampai kapan pun

Ketiga, memiliki pengetahuan tentang seluk-beluk politik, partai politik, konstitusi, parlemen dan ketatanegaraan Indonesia yang mencukupi. Tanpa pengetahuan itu, memilih partai politik dalam pemilu sama dengan membeli barang yang tak jelas juntrungannya. Bukan keuntungan yang kita dapat, tetapi kerugian.

Kini pemilu semakin dekat. Kampanye janji-janji sebentar lagi akan digelar. Sebagai pemilih, tidak perlu menghabiskan tenaga dan pikiran karena bingung akan memilih partai yang mana. Cukup kita bertanya pada diri kita sendiri, apakah ketiga prasyarat minimal di atas sudah kita miliki? Jika sudah, pastikan pilihan kita. Jika tidak, tak ada salahnya kita menanggalkan sejenak hak pilih kita di pemilu 2009.

Baca Selengkapnya untuk Jangan Salah Memilih Partai, Baca ini Dulu...

Upah dibagi 173 = Upah lembur perjam

Posted by F.SP.LEM - K.SPSI KAB.TANGERANG

Sumber : PUK PT.Wooil Indonesia

Banyak orang tidak tahu asal perhitungan angka pembagian upah lembur yang 173 jam perbulan, disini saya mencoba membuktikan sumber perhitungannya, mari kita buktikan perhitungannya.
Dasar-Dasar
1 Minggu = 40 jam kerja, 1 Minggu = 6 hari kerja, 1 Bulan = 4 Minggu, 1 Tahun = 12 Bulan, 1 Tahun = 52 Minggu, Perhitungannya adalah


Jam kerja seminggu yaitu : 40 Jam kerja yang terdiri dari
-. Senen s/d Jum'at = 7 Jam x 5 Hari = 35 Jam kerja
-. Sabtu = 5 Jam x 1 Hari = 5 Jam kerja
Jam Kerja sebulan yaitu : 173 Jam kerja dengan perhitungan
-. 40 Jam x 52 Minggu = 2.080 Jam Kerja dalam setahun
-. 2.080 Jam / 12 Bulan = 173 Jam kerja dalam sebulan

Demikian perhitungan untuk penentuan angka 173 Jam dalam sebulan, semoga dapat dimengerti dan di pahami oleh seluruh Pengurus Serikat Pekerja.
Baca Selengkapnya untuk Upah dibagi 173 = Upah lembur perjam...

THR 100% bagi Pekerja masa kerja 12 Bulan

Posted by F.SP.LEM - K.SPSI KAB.TANGERANG

Sumber : PUK PT.Wooil Indonesia

Pemerintah menghimbau kepada seluruh pengusaha yang mampu membayarkan THR dengan membayar 100% Upah bagi pekerja dengan mempunyai masa kerja sampai dengan 12 bulan, hal tersebut adalah suatu kewajiban pengusaha yang harus dilakukan terhadap pekerjanya didalam pembayaran THR....

Saya menguji dan mencoba menghitung kenapa harus 100% ?Mari kita Buktikan bersama :Seorang pekerja dengan upah sebulan sebesar Rp. 1.000.000,-, klo kita hitung gaji dia perminggu adalah Rp. 250.000,-Selisih pengusaha harus membayar upah pekerja dengan perhitungan bulanan berbanding dengan bayaran mingguan :1 Tahun = 52 Minggu, 1 Bulan = 4 Minggu, 1 Tahun = 12 Bulan, Upah Perbulan : Rp. 1.000.000 x 12 Bulan = Rp. 12.000.000 / Tahun, Mingguan : Rp. 250.000 x 52 Minggu = Rp. 13.000.000 / Tahun, Selisih perhitungannya adalah : Rp. 1.000.000, Jadi cukup jelas bahwa pemerintah menganjurkan pembayaran THR pekerja yang mempunyai masa kerja sampai dengan 12 bulan berhak atas THR sebesar 100% upah sebulan

Baca Selengkapnya untuk THR 100% bagi Pekerja masa kerja 12 Bulan...

JAMINAN HARI TUA

Posted by F.SP.LEM - K.SPSI KAB.TANGERANG

Program Jaminan Sosial merupakan program perlindungan yang bersifat dasar bagi tenaga kerja yang bertujuan untuk menjamin adanya keamanan dan kepastian terhadap risiko-risiko sosial ekonomi, dan merupakan sarana penjamin arus penerimaan penghasilan bagi tenaga kerja dan keluarganya akibat dari terjadinya risiko-risiko sosial dengan pembiayaan yang terjangkau oleh pengusaha dan tenaga kerja.

Risiko sosial ekonomi yang ditanggulangi oleh program tersebut terbatas saat terjadi peristiwa kecelakaan, sakit, hamil, bersalin, cacat, hari tua dan meninggal dunia, yang mengakibatkan berkurangnya atau terputusnya penghasilan tenaga kerja dan/ atau membutuhkan perawatan medis Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial ini menggunakan mekanisme Asuransi Sosial.


PROGRAM JAMINAN HARI TUA

Definisi Program JHT
Program Jaminan Hari Tua ditujukan sebagai pengganti terputusnya penghasilan tenaga kerja karena meninggal, cacat, atau hari tua dan diselenggarakan dengan sistem tabungan hari tua. Program Jaminan Hari Tua memberikan kepastian penerimaan penghasilan yang dibayarkan pada saat tenaga kerja mencapai usia 55 tahun atau telah memenuhi persyaratan tertentu.

Iuran Program Jaminan Hari Tua:

-. Ditanggung Perusahaan = 3,7%
-. Ditanggung Tenaga Kerja = 2 %
Kemanfaatan Jaminan Hari Tua adalah sebesar akumulasi iuran ditambah hasil pengembangannya.

Manfaat Program JHT
Jaminan Hari Tua akan dikembalikan/ dibayarkan sebesar iuran yang terkumpul ditambah dengan hasil pengembangannya, apabila tenaga kerja:

1. Mencapai umur 55 tahun atau meninggal dunia, atau cacat total tetap
2. Mengalami PHK setelah menjadi peserta sekurang-kurangnya 5 tahun dengan masa tunggu 6 bulan
3. Pergi keluar negeri tidak kembali lagi, atau menjadi PNS/ABRI.

Tata Cara Pengajuan Jaminan

Setiap permintaan JHT, tenaga kerja harus mengisi dan menyampaikan formulir 5 Jamsostek kepada kantor Jamsostek setempat dengan melampirkan :
Kartu peserta Jamsostek (KPJ) asli.
Kartu Identitas diri KTP/SIM (fotokopi).
Surat keterangan pemberhentian bekerja dari perusahaan atau Penetapan Pengadilan Hubungan Industrial.
Surat pernyataan belum bekerja di atas materai secukupnya.


Permintaan pembayaran JHT bagi tenaga kerja yang mengalami cacat total dilampiri dengan Surat Keterangan Dokter

Permintaan pembayaran JHT bagi tenaga kerja yang meninggalkan wilayah Republik Indonesia dilampiri dengan:
Pernyataan tidak bekerja lagi di Indonesia
Photocopy Paspor
Photocopy VISA

Permintaan pembayaran JHT bagi tenaga kerja yang meninggal dunia sebelum usia 55 thn dilampiri:
Surat keterangan kematian dari Rumah Sakit/Kepolisian/Kelurahan
Photocopy Kartu keluarga

Permintaan pembayaran JHT bagi tenaga kerja yang berhenti bekerja dari perusahaan sebelum usia 55 thn telah memenuhi masa kepesertaan 5 tahun telah melewati masa tunggu 6 (enam) bulan terhitung sejak tenaga kerja yang bersangkutan berhenti bekerja, dilampiri dengan:
Photocopy surat keterangan berhenti bekerja dari perusahaan
Surat pernyataan belum bekerja lagi

Permintaan pembayaran JHT bagi tenaga kerja yang menjadi Pegawai Negeri Sipil/ ABRI.
Selambat-lambatnya 30 hari setelah pengajuan tersebut PT Jamsostek (persero) melakukan pembayaran JHT



Baca Selengkapnya untuk JAMINAN HARI TUA...

THR = Tunjangan Hari Raya

Posted by F.SP.LEM - K.SPSI KAB.TANGERANG

Sumber : PUK SP.LEM-SPSI PT.WOOIL INDONESIA
Agustus-2008

THR atau yang sering lajimnya disebut Tunjangan Hari Raya yang merupakan Hak pekerja yang diberikan oleh pengusahaanya dimana si-pekerja tersebut bekerja, dalam peraturan perundang-undangan bahwa pekerja yang mempunyai masa kerja lebih dari 12 bulan berturut-turut maka si-pekerja akan mendapatkan Hak THR sebesar 1(satu) bulan upah.


Diera saat ini banyak perusahaan yang mengingkari janji akan pemberian THR dan tidak sedikit pengusaha tidak membayarkan THR pada pekerjanya, ironis untuk pekerja kontrak yang masa kerjanya hanya diperpanjang setiap 3 bulan sekali yang jadi pada saat THR dia hanya sedikit menerima Hak THR-nya, apalagi kebutuhan akan Hari Raya sangatlah tinggi dari segi kebutuhan materi atau keuangan, untuk beli baju anak-anak dan istri, untuk beli kue menyambut tamu saat lebaran atauuntuk pulang kampung nyekar dimakam orang tua.


Lalu apa yang bisa mereka lakukan, untuk menabung saja setiap bulannya tidak cukup karena upah yang diterima hanya sebesar UMK dan tidak ada lemburan diperusahaannya, kita sadar akan hubungan industrial dan harapan pekerja hanyalah apakah pengusaha bisa berbagi uang BONUS sebagai tambahan uang THR disetiap penerimaan THR.


Baca Selengkapnya untuk THR = Tunjangan Hari Raya...

Uang Makan Pun Terpaksa Diirit

Posted by F.SP.LEM - K.SPSI KAB.TANGERANG

Sumber : SINAR HARAPAN
09 - JUNI - 2008

JAKARTA – Nasib buruh di Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi kini kian sulit saja. Keputusan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) pada 24 Mei 2008 menjadi biang kerok persoalan itu.
Ditambah dengan sistem kerja yang belum becus, kondisi itu menambah deretan panjang penderitaan bagi buruh. Situasi itu kian menjadi perkara terlebih pada buruh yang memiliki penghasilan pas-pasan.
Sebut saja Rio (bukan nama sebenarnya). Buruh yang bekerja di Kawasan Industri Pulo Gadung, Jakarta Timur sebagai sortir rantai motor ini harus lebih berhemat. Upahnya sebagai buruh yang hanya Rp 180.000 per minggu memang membuatnya semakin tak bisa bergerak leluasa. Maklum saja kondisi harga BBM yang tidak naik saja, kesehariannya Rio makan dengan menu alakadarnya. Terlebih dengan harga BBM yang berdampak ke banyak sektor, tentu saja ia harus semakin mengencangkan ikat pinggang.


“Uang gaji saya mah dipakai untuk pulang pergi ke kantor setiap hari kerja sudah habis,” tuturnya.
Laki-laki yang masih bujang ini mengaku sulit bagi dirinya untuk menabung lantaran penghasilannya yang terbatas. “Setelah harga BBM naik makan siang yang biasanya Rp 5.000 sekarang naik jadi Rp 6.000 belum lagi rokok,” katanya.
Sebagai pegawai rendahan Rio hanya bisa menyikapinya dengan sabar. Baginya, kondisi kenaikan harga BBM memang bukan hanya dituai oleh dirinya. Hanya saja yang kian membuat terhimpit adalah kondisinya sebagai pekerja yang tidak dihargai kinerjanya. Sudah setahun lebih ia bekerja, namun kejelasan nasibnya tidak juga ada.
Rio bekerja untuk PT FSCM, mulai pukul 07.00 hingga 16.00 WIB. Dia bekerja di perusahaan yang memproduksi rantai motor tanpa menyerahkan keterangan diri, ia masuk berdasarkan koneksi.
Namun, sebagai karyawan yang terhitung setahun mengabdi tentunya ia penuh harap bisa mendapatkan kejelasan status kerja. “Tapi sepertinya sulit, teman saya yang sudah empat tahun kerja saja bertahan dengan kondisi yang sama, tidak jelas nasibnya,” ungkapnya.
Setiap hari Rio harus menyortir rantai seberat 40 kilogram, lantaran perusahaannya menargetkan produksi 2 ton sehari. Pengakuannya baru-baru ini, Rio dan teman-temannya sempat bertemu dengan atasannya setelah kenaikan harga BBM. Atasannya mengatakan bisa dengan mudah menggantikan karyawan yang tidak mau mengikuti aturan.
“Atasan saya bilang, akibat kenaikan harga BBM tidak akan ada kenaikan upah dan kenaikan status kerja, kalau masih mau kerja silakan, kalau nggak mau perusahaan bisa cari orang lain lagi,” tirunya.
Hal itu menurut Rio dipicu dari bahan baku yang juga mengalami kenaikan akibat BBM. “Kami terpaksa mengerti, kalau pihak perusahaan sedang mengalami kesulitan akan harga bahan baku yang naik,” paparnya.
Kesulitan hidup juga dialami Agus (35) yang bekerja di kawasan industri sebagai teknisi AC. Upah kerjanya yang baru-baru ini naik menjadi Rp 970.000 tetap saja belum mencukupi kehidupannya. “Saya belum bisa ngontrak, masih tinggal di pondok mertua indah,” ungkapnya siang itu usai makan di warung nasi.
Agus yang telah enam tahun bekerja mengaku belum mendapatkan kejelasan status kerja. “Nggak tahu kapan diangkat jadi karyawan tetap, padahal sudah enam tahun kerja,” katanya.
Laki-laki yang memiliki tiga anak ini tidak dapat menutupi kegalauannya, lantaran kenaikan harga BBM membuat hidupnya kian merana. “Dengan gaji segitu mana bisa menutupi kebutuhan, untungnya kalau ada yang butuh jasa memperbaiki AC suka ada yang memberi tip,” ceritanya.
Saat ini, Agus hanya bisa menjalani kerjanya dengan baik, sekaligus berharap ada kejelasan status. Karena sebagai kepala keluarga, ia harus menyekolahkan anak-anaknya dengan baik.

Dihantui PHK
Kegalauan juga melanda Erli (38). Janda beranak dua ini gelisah ketika hendak berangkat menuju perusahaan konveksi (PT MB-red) tempatnya bekerja. Maklum, setelah kenaikan harga BBM, beredar isu tak sedap di lingkungan perusahaan tempatnya bekerja. Bahwa dalam waktu dekat, akan ada pengurangan karyawan secara besar-besaran.
Perusahaan sudah tidak mampu lagi menggaji karyawan yang jumlahnya mencapai 300 orang, menyusul membengkaknya biaya produksi akibat kenaikan harga BBM. Alhasil, isu yang belum jelas asal-usul dan kebenarannya itu pun menjadi perbincangan hangat di kalangan karyawan.
Erli merupakan satu dari 300 karyawan PT MB yang saat ini tengah diliputi rasa cemas akan terkena imbas dari kebijakan perusahaan itu. Betapa tidak, sebagai single parent Erli kini memiliki tanggung jawab ganda bagi dua anaknya yang masih kecil. Selain menjadi ibu, Erli juga harus bertindak sebagai bapak untuk menafkahi anak-anaknya.
Dia mengatakan, bila benar perusahaan akan melakukan pengurangan karyawan secara besar-besaran, maka harapannya cuma satu yakni dirinya tidak termasuk di dalamnya. “Karena bila saya di-PHK, bagaimana dengan nasib dan masa depan anak-anak saya nanti,“ ujar perempuan paruh baya yang kini menetap bersama ibunya di Kampung Wates, Kelurahan Pakulonan, Kecamatan Serpong, Kabupaten Tangerang itu.
Dia mengakui sebagai buruh kontrak di PT MB, penghasilannya tidaklah seberapa. Dalam dua minggu, dia hanya menerima upah sebesar Rp 250.000 dengan tambahan upah lembur Rp 1.500 per jam. Setiap harinya Erli bisa menerima jatah lembur selama dua jam. Meski demikian, Erli mengaku penghasilan itu sudah lebih dari cukup untuk membiayai kebutuhan makan dan sekolah dua anaknya.
“Gaji saya hanya untuk makan dan membiayai sekolah anak-anak saja. Untuk tempat tinggal, saya tidak pusing karena bisa nebeng bersama orang tua. Tapi bila tidak bekerja, tentunya saya dan anak-anak hanya akan menambah beban orang tua saja,’’ ujarnya.
Keresahan dan kesulitan pascakenaikan harga BBM kiranya tidak hanya membebani Erli seorang, namun juga ratusan bahkan ribuan buruh lainnya yang bekerja di perusahaan-perusahaan kecil di Tangerang. Karena umumnya, perusahaan kecil lebih rentan gulung tikar bila dibandingkan dengan perusahaan pemilik modal besar.
Seperti yang diakui Fitri (24), salah seorang karyawan kafe di kawasan Benton Junction, Lippo Karawaci, Kabupaten Tangerang. Kafe tempatnya bekerja mulai sepi pengunjung sejak kenaikan harga BBM. Jumlah pengunjung yang datang sejak sepekan terakhir bahkan bisa dihitung dengan jari.
“Saya juga mulai khawatir dengan kondisi kafe ini. Bila kondisinya begini terus, bisa-bisa kafe ini nantinya bangkrut. Itu artinya, saya juga akan kehilangan pekerjaan. Mau kerja di mana lagi, sekarang mencari pekerjaan kan cukup sulit,“ ujar dara asal Jawa Tengah yang kini menempati rumah kontrakan di kawasan Perumahan Kelapa Dua, Kabupaten Tangerang itu.
Menjawab keresahan buruh sekaligus mengantisipasi membludaknya angka pengangguran, Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Tangerang mengimbau seluruh perusahaan di wilayahnya untuk tidak melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) menyusul kenaikan harga BBM.
“Kami memahami bahwa kenaikan harga BBM tentu berdampak pada tingginya biaya produksi. Namun, kami mengimbau pengusaha mencari solusi lain tanpa harus mengurangi jumlah pekerja,” ujar Hasdanil, Kepala Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kabupaten Tangerang.
Dari data yang dilansir Disnaker Kabupaten Tangerang, total perusahaan yang kini beroperasi di Kabupaten Tangerang sebanyak 4.300. Sepanjang 2007 lalu, tercatat sebanyak 15.447 buruh di-PHK akibat perusahaan bangkrut, dan 1.888 buruh di-PHK akibat pelanggaran dan kesalahan kerja. Sementara itu, hingga April 2008, tercatat sebanyak 1.300 buruh di-PHK. Umumnya PHK dipicu pelanggaran kerja dan perusahaan bangkrut.
Dia menyebutkan, mayoritas perusahaan yang gulung tikar sepanjang tahun 2007 dan 2008 ini adalah yang bergerak di bidang garmen. Sedangkan PHK akibat pelanggaran kerja umumnya dipicu oleh protes buruh terhadap kebijakan perusahaan.
Guna mencari solusi atas kemungkinan terjadinya PHK massal pascakenaikan harga BBM yang berdampak pada meningkatnya angka pengangguran, Disnaker Kabupaten Tangerang dalam waktu dekat akan mengundang pihak pengusaha dan Serikat Pekerja untuk duduk dan bicara bersama.
Kondisi buruh di Bekasi juga tak jauh berbeda. Murniati (29), karyawati pabrik garmen PT SPK di Bekasi Timur Kota Bekasi, mengaku masa kerjanya sudah delapan tahun di perusahaan itu. Gajinya hanya sesuai upah minimum kota (UMK) Bekasi Rp 985.000 per bulan. Uang itu digunakan buat kebutuhan hidup sehari-hari.
Murniati yang masih gadis itu harus mengontrak rumah secara bersama-sama dengan empat temannya. Jadi, uang sewa rumah Rp 400.000 per bulan dapat dibagi lima. Kalau sendirian mengontrak rumah petak, jelas tidak mampu.
Saat ini, katanya, ia harus mengurangi pengeluaran. Kalau pagi hari, ia hanya sarapan kue saja. Jadi, makan hanya siang dan malam hari. Sekali makan saja di warung, saat ini paling murah Rp 8.000. Kalau makan dua kali, sudah Rp 16.000, belum lagi uang kontrak rumah dan bayar listrik, termasuk keperluan lainnya. Beruntung rumah kontrakan dekat dengan perusahaan sehingga dirinya tidak memerlukan ongkos.
Buruh di Bogor juga merasakan dampak kenaikan harga BBM. Kondisi itu ditambah lagi dengan meroketnya harga sembilan bahan pokok (sembako). Sejumlah buruh malah terpaksa meminjam uang ke rentenir untuk menutupi kebutuhan anak sekolah.
Icih, buruh garmen di Kota Bogor menuturkan, meskipun kenaikan harga BBM baru terjadi, tapi dampaknya terhadap nasib buruh langsung terasa. Perempuan yang sudah dua tahun ditinggal suaminya ini harus banting tulang menyekolahkan anak semata wayangnya. Bahkan, untuk melanjutkan pendidikan putranya ke tingkat SD, perempuan berkulit putih ini terpaksa meminjam uang.
“Gaji yang saya dapatkan tidak mampu lagi menutupi kebutuhan keluarga. Anak saya tahun ini masuk SD, untuk uang pembangunan dan seragam harus disediakan ratusan ribu,’’ jelas Icih.
Keluhan serupa dialami Fitri, buruh pabrik pakaian jadi di Dramaga, Kabupaten Bogor. Walaupun masih berstatus gadis, wanita ini harus menutupi kebutuhan keluarganya. Hasil sebagai pekerja pabrik nyaris tidak mampu menutupi kebutuhan hidup. Fitri terpaksa kerja lembur untuk menambah penghasilan.
Ketua DPC Serikat Pekerja Nasional (SPN) Kabupaten Bogor, Iwan Kusmawan, mengakui kenaikan harga bahan bakar yang berdampak pada kenaikan harga sembako serta tarif transportasi dan kebutuhan lainnya membuat nasib buruh semakin memprihatinkan.

Pengusaha Kena Imbas
Untuk itu, ia berharap antara buruh dan perusahaan melakukan kesepakatan dalam menyelesaikan persoalan yang dihadapi buruh dan perusahaan pascakenaikan harga BBM. “Hubungan yang baik antara bipartit (pekerja/serikat dengan perusahaan-red) sangat dibutuhkan dalam menanggulangi persoalan tersebut,’’ ujar Iwan, Sabtu (7/6).
Mengenai adanya kemungkinan pemutusan hubungan kerja, Ketua DPC SPN itu mengatakan harus dihindari. Sebaiknya dalam mengatasi persoalan yang dihadapi buruh maupun perusahaan diselesaikan dengan cara musyawarah.
Di tempat terpisah, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Sosialisasi Kota Bogor, Janny Permadhi mengatakan, pihak pengusaha harus mencari alternatif lain di samping melakukan PHK. Kebijakan PHK dinilai bukanlah satu-satunya solusi terbaik agar bisa tetap menjalankan usahanya.
Dampak kenaikan harga BBM juga memukul pengusaha. Sekarang, biaya produksi naik sekitar 30 persen. Solar untuk sektor industri saat ini Rp 10.000 per liter. Semua yang berkaitan dengan bahan produksi, harganya naik melambung. Kesulitan itu ditambah lagi seringnya aliran listrik di Bekasi padam, membuat proses produksi terganggu, bahkan terhenti total.
Setidaknya itulah yang diungkapkan pengurus Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kota Bekasi, Arifin Dimyati kepada SH. Ia menyatakan, sekarang semua pengusaha melakukan efisiensi di segala sektor. Kalau tidak dilakukan efisiensi, perusahaan bangkrut. Kalau efisiensi itu ternyata tidak menolong kelangsungan perusahaan, penguasaha akan melakukan langkah pengurangan produksi.
“Jika terjadi pengurangan produksi, tentu akan terjadi pengurangan tenaga kerja. Itu langkah yang ketiga dilakukan. Ternyata jika tiga langkah itu juga tidak membantu kelangsungan perusahaan, tentu pengusaha akan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) kepada karyawan secara bertahap,” katanya.
Nah, kalau sudah begini, siapa lagi yang akan menolong kaum buruh? Karena tidak hanya pengusaha yang buat buruh pusing tujuh keliling sehingga harus irit uang makan, pemerintah juga ikut andil dengan menghantam dengan kenaikan harga BBM.

Baca Selengkapnya untuk Uang Makan Pun Terpaksa Diirit...

DPD sarankan buruh ikuti forum bipartit

Posted by F.SP.LEM - K.SPSI KAB.TANGERANG

Sumber : http://www.sarwono.net

Perwakilan buruh dianjurkan mengikuti forum bipartit antara asosiasi pengusaha dan pemimpin serikat buruh dalam dialog secara formal sehingga tercapai kesamaan visi membenahi iklim investasi, industri, dan ketenagakerjaan. Peningkatan hubungan bipartit antara buruh dengan pengusaha diharapkan mampu membangun kembali hubungan industrial yang lebih baik.


Demikian anjuran yang disampaikan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Ginandjar Kartasasmita ketika menerima utusan Serikat Pekerja Indonesia yang diwakili antara lain Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (K-SPSI), Sjukur Sarto; Ketua Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (K-SBSI), Rekson Silaban; Robin Sihombing (K-SPSI Jawa Barat), Hajirmanto (Ketua SPSI Banten), Arief Poyuono (Ketua Presidium Forum SP BUMN Bersatu), Ali Akbar (SPPMI, Serikat Pekerja Percetakan Media dan Informasi), Abdul Muis (Sekretaris Jenderal SP Perum Bulog), Indra Munaswar (SP Tekstil dan Kulit).

“Saya mendengar akan ada rencana bipartit. Kalau bisa ikut saja, duduk sama rendah, berdiri sama tinggi,” ungkap Ginandjar, ketika menanggapi pernyataan utusan buruh. Menurut Ginandjar, forum bipartit merupakan kesempatan bagi buruh untuk melakukan koreksi atas berbagai masalah mulai iklim investasi, industri, hingga ketenagakerjaan.

Forum bipartit bertujuan menyusun poin-poin skala prioritas perbaikan iklim investasi dan industri. Forum bipartit akan membahas hasil kajian akademis Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang dilakukan lima universitas yang ditugaskan pemerintah. Draf usulan forum bipartit akan dibahas forum tripartit bersama pemerintah paling lambat dua bulan mendatang.

Kalangan buruh berpendapat, Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Muhammad Jusuf Kalla cenderung memenuhi tuntutan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dengan merevisi UU 13/2003. Beberapa poin revisi versi Apindo yang disorot kalangan buruh seperti penyederhanaan proses PHK (pemutusan hubungan kerja) dan pengurangan jumlah pesangon, upah minimum secara bipartit (buruh dan pengusaha), mogok yang bukan sebagai hak dasar buruh, outsourcing dan rekrutmen pekerja paruh waktu sesuai kebutuhan, serta jam kerja lembur yang maksimal 28 jam sepekan.

Mereka juga menegaskan, rendahnya minat investasi di Indonesia bukan semata-mata disebabkan faktor buruh. Persoalan perpajakan, bea cukai, birokrasi, infrastruktur, dan korupsi selama ini telah menyebabkan biaya ekonomi tinggi sehingga menciptakan iklim investasi yang kurang bergairah.

Selain masalah revisi, utusan buruh juga meminta dukungan moril, politis, dan fasilitas DPD untuk membebaskan delapan buruh yang masih di tahan di Kepolisian Daerah DKI Jakarta pasca unjuk rasa buruh tanggal 3 Mei lalu. Menurut mereka, yang ditahan polisi hanyalah buruh biasa yang terpancing bertindak anarkis dan karena keterlambatan aparat keamanan mengantisipasi keadaan di lapangan.

Pada kesempatan itu juga dibacakan pernyataan sikap DPD yang diteken Ginandjar bersama Wakil Ketua DPD, Laode Ida. Yang antara lain DPD mendukung usulan buruh untuk membatalkan rencana revisi UU Ketenagakerjaan, karena tidak berpihak kepada kepentingan buruh. Meminta Pemerintah untuk menghilangkan biaya tinggi yang dibebankan kepada pengusaha dalam rangka mendukung investasi, karena berimbas kepada buruh. Selain itu, meminta Pemerintah menindak tegas jajaran birokrasi yang selama ini melakukan berbagai pungutan yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan memberatkan iklim investasi.

Baca Selengkapnya untuk DPD sarankan buruh ikuti forum bipartit...

K-SPSI Kab.Tangerang Desak Indonesia Bentuk Nasional Kontrak Point

Posted by F.SP.LEM - K.SPSI KAB.TANGERANG

Sumber : DPC K-SPSI Kab. Tangerang

Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (K-SPSI) Kab.Tangerang mendesak pemerintah Indonesai agar segera membentuk ‘Nasional Kontrak Point’ dengan negara-negara yang tergabung dalam negara-negara insdurti maju (OECD) guna mencegah praktek bisnis curang.

“Indonesia harus segera membentuk ‘Nasional Kontrak Point’ untuk mencegah praktik bisnis curang,” kata Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Seuluruh Indonesia (K-SPSI) Hermanto seusai bertemu Wapres M Jusuf Kalla, di kantor Wapres, Jakarta, Kamis (04/01).



Menurut Hermanto, belum adanya ‘Nasional Kontrak Point’ di Indonesia tersebut, menyebabkan timbulnya kesulitan jika terjadi masalah dengan investor asing yang melarikan diri.

Indonesia, tambahnya, akan menghadapi kesulitan menangkap pengusaha yang kabur tersebut karena tidak memiliki dasar seperti ‘Nasional Kontrak Point’ tersebut.

Beberapa negara, tambah Rekson, telah memiliki ‘Nasional Kontrak Point’ tersebut sehingga para pengusaha yang tergabung dalam OECD tidak bisa main-main dan tidak bisa berbuat curang. Selama ini, kasus-kasus perburuhan di Indonesia banyak terjadi karena adanya kecurangan, seperti adanya pengusaha yang kabur tanpa membayar uang pesangon dan sebagainya.

“Sebenarnya tak ada upaya pemerintah untuk menguber para pengusaha yang kabur itu,” kata Hermanto Ketua DPC K-SPSI Kab.Tangerang

Sementara itu, dua pabrik sepatu olahraga milik pengusaha Korea, yakni PT Dong Joe Indonesia dan PT Spotec, yang beroperasi di Indonesia, terpaksa menghentikan produksinya. Selain mengalami kesulitan keuangan, industri sepatu itu juga mengalami kesulitan memperoleh pasokan bahan baku.

PT Dong Joe Indonesia, mempekerjakan sebanyak 6.000 karyawan, dan sejak 13 Oktober 2006 telah menghentikan kegiatan produksi untuk waktu tiga bulan. Produsen sepatu itu sebenarnya mampu memproduksi sekitar 800.000 pasang per bulan.

Sedangkan PT Spotec mempekerjakan sekitar 4.500 karyawan di Cikupa, Tangerang. Perusahaan ini sebelumnya merupakan sister company dari PT Dong Joe Indonesia. Total produksinya sekitar 500.000 pasang per bulan.

Sebelumnya, Wapres M Jusuf Kalla, seusai mengadakan pertemuan khusus dengan pengusaha Korsel di Jakarta, mengatakan, masalah tersebut bukan menjadi tanggungjawab pemerintah karena hal itu bisa diselesaikan dalam mekanisme bisnis to bisnis.

Kedua pemilik pabrik asal Korsel itu, telah kabur meninggalkan tanggung jawab kewajiban kepada ribuan buruh dan tunggakan utang di Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan Bank Mandiri yang tercatat sekitar Rp 650 miliar.

Baca Selengkapnya untuk K-SPSI Kab.Tangerang Desak Indonesia Bentuk Nasional Kontrak Point...

Serial Syariah Islam : Politik Perburuhan dalam Islam

Posted by F.SP.LEM - K.SPSI KAB.TANGERANG

http://www.infogue.com/

Pendahuluan
Hampir di semua negara saat ini, problem ketenagakerjaan atau perburuhan selalu tumbuh dan berkembang, baik di negara maju maupun berkembang, baik yang menerapkan ideologi kapitalisme maupun sosialisme. Hal itu terlihat dari adanya departemen yang mengurusi ketenagakerjaan pada setiap kabinet yang dibentuk. Hanya saja realitas tiap negara memberikan beragam problem riil sehingga terkadang memunculkan berbagai alternatif solusi. Umumnya, negara maju berkutat pada problem ketenagakerjaan yang berkait dengan ‘mahalnya’ gaji tenaga kerja, bertambahnya pengangguran karena mekanisasi (robotisasi), tenaga kerja ilegal, serta tuntutan penyempurnaan status ekonomi, dan sosial, bahkan politis. Sementara itu, di negara berkembang umumnya problem ketenagakerjaan berkait dengan sempitnya peluang kerja, tingginya angka pengangguran, rendahnya kemampuan SDM tenaga kerja, tingkat gaji yang rendah, serta jaminan sosial nyaris tidak ada. Belum lagi perlakuan pengusaha yang merugikan pekerja, seperti perlakuan buruk, tindak asusila, penghinaan, pelecehan seksual, larangan berjilbab, beribadah, dan lain-lain.


Walhasil, berbagai problem yang menyangkut hak-hak kaum buruh tidak terselesaikan dengan baik. Lebih ironis lagi, pemerintah dengan aparat keamannya bertindak represif menekan gerakan buruh untuk meraih hak-haknya. Berikut ini adalah beberapa problem yang berhubungan dengan ketenagakerjaan.

1. Problem Gaji / UMR

Salah satu problem yang langsung menyentuh kaum buruh adalah rendahnya atau tidak sesuainya pendapatan (gaji) yang diperoleh dengan tuntutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya beserta tanggungannya. Faktor ini, yakni kebutuhan hidup semakin meningkat, sementara gaji yang diterima relatif tetap, menjadi salah satu pendorong gerak protes kaum buruh.

Adapun dalam sistem ekonomi Kapitalis, rendahnya gaji buruh justru menjadi penarik bagi para investor asing. Termasuk pemerintah, untuk kepentingan peningkatan pendapatan pemerintah (bukan rakyat), justru memelihara kondisi seperti ini. Kondisi ini menyebabkan pihak pemerintah lebih sering memihak ‘sang investor’ , dibanding dengan buruh (yang merupakan rakyatnya sendiri) ketika terjadi krisis perburuhan. Rendahnya gaji juga berhubungan dengan rendahnya kualitas SDM. Persoalannya bagaimana, SDM bisa meningkat kalau biaya pendidikan mahal?

Untuk membantu mengatasi problem gaji, pemerintah biasanya membuat “batas minimal gaji” yang harus dibayarkan oleh perusahaan kepada pekerjanya, yang kemudian dikenal dengan istilah Upah Minimum Regional (UMR) atau Upah Minimum Daerah (UMD) atau Upah Minimum Kota (UMK) yang mengacu pada UU Otonomi Daerah No. 22 Tahun 1999. Intervensi pemerintah dalam hal ini ditujukan menghilangkan kesan eksploitasi pemilik usaha kepada buruh karena membayar di bawah standar hidupnya. Nilai UMR, UMD, dan UMK ini biasanya dihitung bersama berbagai pihak yang merujuk kepada Kebutuhan Fisik Minimum Keluarga (KFM), Kebutuhan Hidup Minimum (KHM), atau kondisi lain di daerah yang bersangkutan.

Penetapan UMR sendiri sebenarnya ‘sangat bermasalah’ dilihat dari realitas terbentuknya kesepakatan upah dari pihak pengusaha dan buruh. Dalam kondisi normal dan dalam sudut pandang keadilan ekonomi, seharusnya nilai upah sebanding dengan besarnya peran jasa buruh dalam mewujudkan hasil usaha dari perusahaan yang bersangkutan. Penetapan UMR dan UMD di satu sisi dimanfaatkan buruh-buruh ‘malas’ untuk memaksa pengusaha memberi gaji maksimal, meski perannya dalam kerja perusahaan sangat sedikit (meskipun ini sangat jarang terjadi) . Di sisi lain UMR dan UMD kerap digunakan pengusaha untuk menekan besaran gaji agar tidak terlalu tinggi, meskipun si buruh telah mengorbankan tenaga dan jam kerjanya yang sangat banyak dalam proses produksi suatu perusahaan. Bila diteliti lebih jauh, penetapan UMR dan UMD ternyata tidak serta merta menghilangkan problem gaji/ upah ini. Hal ini terjadi setidaknya disebabkan oleh:

1. Pihak pekerja, yang mayoritasnya berkualitas SDM rendah berada dalam kuantitas yang banyak sehingga nyaris tidak memiliki posisi tawar yang cukup dalam menetapkan gaji yang diinginkan. Walhasil, besaran gaji hanya ditentukan oleh pihak majikan, dan kaum buruh berada pada posisi ‘sulit menolak’.

2. Pihak majikan sendiri sering merasa keberatan dengan batasan UMR. Hal ini mengingat, meskipun pekerja tersebut bekerja sedikit dan mudah, pengusaha tetap harusmembayar sesuai batas tersebut.

3. Posisi tawar yang rendah dari para buruh semakin memprihatinkan dengan tidak adanya pembinaan dan peningkatan kualitas buruh oleh pemerintah, baik terhadap kualitas keterampilan maupun pengetahuan para buruh terhadap berbagai regulasi perburuhan.

4. Kebutuhan hidup yang memang juga bervariasi dan semakin bertambah, tetap saja tidak mampu dipenuhi dengan gaji sesuai UMR. Pangkal dari masalah ini adalah karena gaji/upah hanya satu-satunya sumber pemasukan dalam memenuhi berbagai kebutuhan dasar kehidupan masyarakat.

Solusi terhadap problem UMR dan UMD ini tentu saja harus terus diupayakan dan diharapkan mampu membangun kondisi seideal mungkin. Untuk tujuan itu, setidaknya ada dua kondisi mendesak yang harus diwujudkan, yaitu :

1. Kondisi normal (persaingan sempurna) yang mampu menyetarakan posisi buruh-pengusaha sehingga penentuan besarnya upah disepakati oleh kedua pihak yang besarnya ditentukan oleh besaran peran serta kerja pihak buruh terhadap jalannya usaha perusahaan yang bersangkutan. Kondisi seperti ini bisa terwujud jika kualitas SDM buruh memadai sesuai dengan kebutuhan, dan besarnya pasar tenaga kerja seimbang. Kondisi seperti ini akan mampu mewujudkan “akad ijarah” (perjanjian kerja) yang dalam pandangan syariat Islam yang didefinisikan secara ringkas sebagai “’Aqdun ‘ala al manfa’ati bi ‘iwadhin” (Aqad atas suatu manfaat dengan imbalan/ upah).

2. Mewujudkan kondisi ideal ketika seluruh rakyat (bukan hanya kaum buruh) memiliki pendapatan lain untuk memenuhi kebutuhan dasar minimal (hajat asasiyah) bagi kehidupannya. Perwujudan kondisi ini, dalam pandang-an syariat Islam menjadi tanggung jawab utama negara. Dalam politik ekonomi Islam, pemerintah bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan pokok (primer) rakyat dan mempermudah kesempatan untuk kebutuhan tambahan (sekunder ataupun tersier)

2. Problem Kesejahteraan Hidup

Ketika para buruh hanya memiliki sumber pendapatan berupa gaji (upah), maka pencapaikan kesejahteraan bergantung pada kemampuan gaji dalam memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya. Dalam kenyataanya, jumlah gaji relatif tetap, sementara itu kebutuhan hidup selalu bertambah (adanya bencana, sakit, sekolah, tambah anak, harga barang naik, listrik, telepon, biaya transportasi, dan lain-lain.) Hal ini menyebabkan kualitas kesejahteraan rakyat (termasuk buruh) semakin rendah.

Berdasarkan indeks yang dikeluarkan UNDP (United Nations Development Progamme), pada 24 Juli 2002, Indonesia menduduki peringkat ketujuh dari sepuluh anggota Asean. Di bawah Indonesia, bertengger negara Myanmar, Kamboja , dan Laos. Tak pelak lagi, kesejahteraan Indonesia di tingkat internasional juga buruk. Masih menurut UNDP, Indonesia menempati posisi 110 dari 173 negara, berada ‘kalah’ dari Vietnam (Republika, 25/7/2002). Padahal, bukankah Indonesia negeri yang alamnya sangat kaya?

Sementara itu, dalam sistem Kapitalis (yang juga dianut oleh Indonesia) peran negara diminimalkan, sebatas pengatur. Kenyataan yang terjadi adalah, negara mengabaikan kesejahteraan rakyat. Prinsipnya siapa yang mau hidup sejahtera dia harus bekerja dan mencari pendapatan sesuai denngan kemampuannya. Tidak bekerja atau bekerja dengan gaji kecil, sementara kebutuhan cukup besar, menjadi risiko hidup yang harus ditanggung setiap warga negara. Negara berlepas diri dari pemenuhan kebutuhan dasar (primer) warga negara, apalagi kebutuhan sekunder dan tersier.

Negara biasanya baru mengucurkan dana (gratis) darurat untuk membantu rakyat ketika krisis kehidupan sosial ekonomi sudah sedemikian parah, seperti JPS (Jaring Pengaman Sosial), pengobatan gratis, dan sebagainya. Itu pun dalam jumlah terbatas, dengan syarat yang sering memberatkan, dan yang jelas sifatnya hanya sementara (sesaat).Belum lagi , besarnya kebocoran dari dana-dana seperti itu. Walhasil, jumlah yang diterima rakyat sangatlah minim. Pada sisi yang lain, kekayaan alam yang melimpah ruah sangat banyak di hampir seluruh pelosok negeri, ternyata hanya dikuasai oleh segelintir orang (pengusaha dan penguasa) untuk memenuhi nafsu kaya raya dan nafsu berkuasa semata. Kolusi intra dan antara pengusaha dan penguasa melalui praktik KKN, kontrak karya, hak eksploitasi, dan sebagainya terjadi setiap hari tanpa memperhatikan kesengsaraan hidup kaum buruh. Bagi buruh (dan komponen rakyat lainnya) jangankan untuk memenuhi kebutuhan sekunder untuk hidup lebih nyaman, kebutuhan primer untuk makan saja sangatlah sulit.

Kondisi yang menimpa kaum buruh tersebut sebenarnya tidak jauh beda dengan mayoritas rakyat/kaum lainnya selain buruh. Artinya, problem kesejahteraan ini lebih bersifat problem sistemis dari pada hanya sebatas problem ekonomi, apalagi problem buruh yang cukup dengan penyelesaian antara buruh dan pengusaha semata.

Jika hendak menyelesaikan problem kesejahteraan hidup, baik bagi kaum buruh maupun rakyat secara makro, tentunya penyelesaiannya harus mampu mencakup penyelesaian yang bersifat kasuistis dan sekaligus dibarengi oleh usaha penyelesaian bersifat sistemis-integralistis. Bila penyelesaian yang dilakukan hanya bersifat kasuistis dan parsial, maka problem mendasar seputar kesejahteraan hidup kaum buruh dan rakyat secara menyeluruh tidak akan selesai.

3. Problem Pemutusan Hubungan Kerja

Salah satu persoalan besar yang dihadapi para buruh saat ini adalah PHK. PHK ini menjadi salah satu sumber pengangguran di Indonesia. Jumlah Pengangguran di Indonesia sangat besar. Menurut Center for Labor and Development Studies (CLDS), pada 2002, jumlah penganggur diperkirakan sebesar 42 juta orang (Republika, 13/05/02). Pastilah, banyaknya pengangguran ini akan berdampak pada sektor kehidupan lainnya. Sebenarnya, PHK adalah perkara biasa dalam dunia ketenagakerjaan. Tentu saja asalkan sesuai dengan kesepakatan kerja bersama (KKB), baik pihak pekerja maupun pengusaha harus ikhlas dan menyepakati pemutusan kerja ini. Namun, dalam kondisi ketika tidak terjadi keseimbangan posisi tawar menawar dan pekerjaan merupakan satu-satunya sumber pendapatan untuk hidup, maka PHK menjadi ‘bencana besar’ yang sangat menakutkan para buruh.

Secara umum PHK terjadi karena beberapa sebab, seperti permintaan sendiri, berakhirnya masa kontrak kerja, kesalahan buruh, masa pensiun, kesehatan/kondisi fisik yang tidak memungkinkan, atau karena meninggal dunia. Problem PHK biasanya terjadi dan kemudian menimbulkan problem lain yang lebih besar di kalangan buruh karena beberapa kondisi dalam hubungan buruh-pengusaha, di antaranya:

1. Posisi salah satu pihak yang lemah (biasanya pihak pekerja) sehingga pihak lain yang lebih kuat dengan mudah memutuskan hubungan kerja dan menggantinya dengan pekerja baru yang sesuai dengan keinginan. Hal itu dilakukan dengan alasan logis ataupun direkayasa.

2. Tidak jelasnya kontrak (waktu) kerja sehingga PHK bisa terjadi kapan saja. Kebijakan menetapkan KKB (Kesepakatan Kerja Bersama) tidak dilakukan dan dikontrol dengan baik sehingga kasus PHK bisa terjadi kapan saja.

3. Rendahnya SDM kaum pekerja berakibat semakin sulitnya mencari pekerjaan alternatif, dan tidak terjaminnya pemenuhan kebutuhan dasar oleh negara.Tidak heran, PHK menjadi seperti ‘vonis mati’ bagi pemenuhan kebutuhan dasar kehidupan normalnya.

4. Tidak adanya pihak ketiga yang membantu penyelesaian kasus PHK secara tuntas yang memuaskan kedua pihak, terutama pihak buruh yang paling sering menerima ‘kekalahan’. Meskipun pemerintah telah menyusun peraturan teknis tentang PHK dalam UU No.12 Tahun 1964 yang disempurnakan oleh Peraturan Menteri Tenaga Kerja No.PER-03/MEN/1996, tapi dalam pelaksanaan teknisnya banyak realitas yang merugikan hak-hak kaum buruh itu sendiri. Secara kasuistis, hal itu lebih disebabkan rendahnya pemahaman buruh terhadap berbagai peraturan pemerintah, posisi tawar yang rendah, dan tidak adanya lembaga pendamping yang secara serius membela kondisi kaum buruh dalam menghadapai kasus PHK ini.

Sebenarnya, PHK bukanlah problem yang besar kalau kondisi sistem hubungan buruh pengusaha telah seimbang dan adanya jaminan kebutuhan pokok bagi buruh sebagaimana bagi seluruh rakyat oleh sistem pemerintahan yang menjadikan “pemenuhan kebutuhan dasar rakyat” sebagai asas politik perekonomiannya.

4. Problem Tunjangan Sosial dan Kesehatan

Dalam masyarakat kapitalistis seperti saat ini, tugas negara lebih pada fungsi regulasi, yakni pengatur kebebasan warga negaranya. Karena itu, sistem ini tidak mengenal tugas negara sebagai “pengurus dan penanggung jawab pemenuhan kebutuhan dasar rakyatnya”. Rakyat yang ingin memenuhi kebutuhannya harus bekerja secara mutlak, baik untuk memenuhi kebutuhan dasarnya maupun kebutuhan pelengkapnya sehingga prinsip struggle for life benar-benar terjadi. Jika seseorang terkena bencana atau kebutuhan hidupnya meningkat, ia harus bekerja lebih keras secara mutlak. Begitu pula ketika ia sudah tidak mampu bekerja karena usia, kecelakaan, PHK atau sebab lainnya, maka ia tidak punya pintu pemasukan dana lagi. Kondisi ini menyebabkan kesulitan hidup luar biasa, terutama bagi seorang warga negara yang sudah tidak dapat bekerja atau bekerja dengan gaji sangat minim hingga tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya .

Pada beberapa wilayah, pihak negara biasanya mewajibkan para pemilik usaha untuk memasukkan nilai Jaminan Sosial terhadap para pekerjanya yang biasa dikenal dengan istilah Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek).

Di Indonesia Jamsostek ini diatur dalam UU Ketenagakerjaan (UU No.3/1992) yang di antaranya pada Bab I Pasal 1 ayat 1 menyatakan: Jamsostek adalah suatu perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti dari penghasilan yang hilang atau berkurang dan pelayanan sebagai akibat peristiwa, seperti kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua, dan meninggal dunia. Dengan demikian, ruang lingkup Jamsostek ini meliputi jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua, dan jaminan kesehatan.

Dalam pelaksanaan teknisnya, pemerintah praktis hanya membuat regulasinya saja, sedangkan pelaksanaannya diserahkan kepada (pemilik) perusahaan . Pada praktiknya, buruh itu sendirilah yang menyediakan iuran wajib untuk melaksanakan program ini. Dana yang dibutuhkan untuk jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, tabungan hari tua, dan asuransi kematian, sebenarnya ditanggung oleh buruh itu sendiri dengan menabung wajib sekian persen dari gajinya setiap bulan untuk ditabung, lalu diolah dalam sistem ribawi agar berbunga terus untuk memenuhi kebutuhan seluruh jaminan tersebut.

5. Problem Kelangkaan Lapangan Pekerjaan

Kelangkaan lapangan pekerjaan bisa terjadi ketika muncul ketidakseim-bangan antara jumlah calon buruh yang banyak, sedangkan lapangan usaha relatif sedikit; atau banyaknya lapangan kerja, tapi kualitas tenaga kerja buruh yang ada tidak sesuai dengan kualitas yang dibutuhkan. Kelangkaan lapangan pekerja ini memunculkan angka tingkat pengangguran yang tinggi yang dapat berakibat pada aspek sosial yang lebih luas. Problem kelangkaan lapangan kerja disebabkan oleh:

1. Investasi usaha rendah karena problem regulasi yang dianggap mempersulit investor, tingkat KKN pejabat yang tinggi, atau karena problem sosial dan sekuritas usaha.

2. Kurangnya peran pemerintah dalam meningkatkan kualitas SDM dan sikap enterpreneurship masyarakat. Juga, karena minimnya dukungan pemerintahan dalam membantu usaha pribadi/wiraswata bagi masyarakat (permodalan, pelatihan pembukaan pasar, kemudahan izin usaha, penghapusan berbagai jenis pajak, perlindungan keamanan, dan lain-lain).

3. Penguasaan modal dan sumber daya alam pada segelintir orang (konglomerat) menyebabkan usaha rakyat kecil/warga bermodal kecil tidak mampu bersaing dan pada akhirnya tidak menumbuhkan usaha kecil dalam jumlah banyak (misalnya, usaha mie instan, produk makanan, ternak unggas dan pakannya, monopoli jalur distribusi, dan lain-lain.

4. Pemerintah tidak berfungsi sebagai pembuka dan penyedia lapangan kerja bagi rakyatnya, tetapi hanya berfungsi sebagai regulator ketenagakerjaan. Padahal, banyak lahan usaha padat karya yang bisa dikelola oleh pemerintah guna menutupi kelangkaan lahan usaha. Dalam Islam, misalnya, tanah yang tidak dikelola selama tiga tahun, akan diambil oleh negara. Kemudian, negara menyerahkannya kepada pihak yang membutuhkan dan mau mengelolanya.

Melihat persoalan ketenagakerjaan yang demikian kompleks di atas, tentu saja juga membutuhkan pemecahan yang komprehensip dan sistemis. Sebab, persoalan tenaga kerja, bukan lagi merupakan persoalan individu, yang bisa diselesaikan dengan pendekatan individual. Akan tetapi, persoalan tenaga kerja di atas merupakan persoalan sosial, yang akhirnya membutuhkan penyelesaian yang mendasar dan menyeluruh. Jadi, problem utamanya adalah sistem Kapitalisme yang saat ini diterapkan. Dalam hal ini syariat Islam sebagai aturan yang berasal dari Allah, akan mampu menyelesaikan persoalan ini. Mengingat syariat Islam adalah aturan yang menyeluruh yang secara praktis akan menyelesaikan berbagai persoalan manusia. Sudah saatnya kita mengganti sistem Kapitalisme yang telah membuat buruh dan manusia lainnya menderita, dan menggantinya dengan syariat Islam.


Akar Masalah Ketenagakerjaan

Mencermati secara lebih mendalam berbagai persoalan ketenagakerjaan yang ada, maka masalah tersebut berpangkal dari persoalan pokok “upaya pemenuhan kebutuhan hidup” serta upaya meningkatkan kesejahteraan hidup. Persoalan pemenuhan kebutuhan pokok, baik kebutuhan akan barang, seperti pangan, sandang dan papan; maupun jasa seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan adalah akar penyebab utama sekaligus faktor pendorong terjadinya permasalahan ketenagakerjaan. Terjadinya kelangkaan lapangan kerja menyebabkan sebagian anggota masyarakat menganggur dan ini berdampak pada ketidakmampuan mereka memenuhi kebutuhan hidupnya. Terjunnya kalangan wanita dan anak-anak ke dunia ketenagakerjaan tidak terlepas dari upaya mereka untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka dan keluarganya sekaligus dalam rangka meningkatkan kesejahteran hidup.

Demikian pula persoalan gaji yang rendah yang berdampak pada pemenuhan kebutuhan; tuntutan kenaikan gaji agar dapat memenuhi kebutuhan yang lebih baik; tuntutan tunjangan sosial berupa pendidikan dan kesehatan agar kebutuhan tersebut dapat dipenuhi. Bahkan, persoalan pekerja kontrak dan pemutusan hubungan kerja (PHK) akan berpengaruh dan sangat terkait erat dengan persoalan pemenuhan kebutuhan pokok.

Karena akar permasalahannya terletak pada pemenuhan kebutuhan hidup, dengan demikian agar persoalan ketenagakerjaan dapat diselesaikan dengan tuntas, persoalan pemenuhan kebutuhan masyarakat harusnya juga menjadi fokus perhatian. Selain itu, penyelesaian berbagai masalah ketenagakerjaan perlu tetap dilakukan untuk mencari solusi yang paling menguntungkan bagi kedua belah pihak. Tidak ada yang terzalimi, baik pekerja maupun pengusaha.

Karena itu, langkah penting yang perlu dilakukan adalah melakukan kategorisasi dengan memisahkan permasalahan ketenagakerjaan yang terkait erat dengan pemenuhan kebutuhan dan masalah yang langsung berhubungan dengan masalah kontrak kerja pengusaha dengan pekerja.

Untuk kategori pertama, yakni masalah ketenagakerjaan yang berhubungan erat dengan masalah pemenuhan kebutuhan, contohnya adalah persoalan ketersediaan lapangan kerja; pengangguran, lemahnya SDM, tuntutan kenaikan upah, tuntutan tunjangan sosial, masalah buruh wanita, dan pekerja di bawah umur. Adapun untuk kategori kedua, yakni permasalahan kontrak kerja antara pengusaha dan pekerja. Hal ini mencakup persoalan pemutusan hubungan kerja, penyelesaian sengketa perburuhan, dan sebagainya.

Persoalan pertama, yakni masalah ketenagakerjaan yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat sangat erat kaitannya dengan fungsi dan tanggung jawab negara untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Persoalan ini haruslah diselesaikan melalui kebijakan dan implementasi negara dan tidak menyerahkan penyelesaiannya semata kepada pengusaha dan pekerja. Adapun persoalan kedua, yakni masalah kontrak kerja, dapat diselesaikan sendiri oleh pengusaha dan pekerja. Pemerintah dalam hal ini hanya berfungsi sebagai pengawas sekaligus penengah jika terjadi persoalan yang tidak dapat diselesaikan oleh pengusaha dan pekerja.

Dengan mengkaji secara mendalam hukum-hukum Islam, kita dapati bahwa Islam sebagai sebagai prinsip ideologi (mabda) telah berusaha mengatasi berbagai persoalan-persoalan yang muncul dalam ketenagakerjaan secara fundamental dan komprehensif. Dalam memecahkan masalah tersebut, Islam memahami bahwa penyelesaiannya perlu memperhatikan faktor penyebab utama munculnya persoalan ketenagakerjaan. Untuk persoalan yang muncul akibat kebijakan negara dalam bidang politik ekonomi, menurut Islam negaralah yang bertanggung jawab untuk menyelesaikannya. Sementara itu, masalah ketenagakerjaan yang muncul akibat semata hubungan pengusaha dan pekerja, maka ini seharusnya dapat diselesaikan sendiri oleh pengusaha dan pekerja. Islam telah menjelaskan secara terperinci bagaimana kontrak kerja pengusaha-pekerja melalui hukum-hukum yang menyangkut ijaratul ajir. Dengan dipatuhi ketentuan-ketentuan Islam dalam hubungan pengusaha dan pekerja, diharapkan masalah-masalah yang ada dapat diselesaikan dengan lebih baik.

Tanggung Jawab Negara Mengatasi Masalah Ketenagakerjaan.

Berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan hidup rakyat, Islam mewajibkan negara menjalankan kebijakan makro dengan menjalankan apa yang disebut dengan Politik Ekonomi Islam. Politik ekonomi merupakan tujuan yang ingin dicapai dari pelaksanaan berbagai kebijakan untuk mengatur dan menyelesai-kan berbagai permasalahan hidup manusia dalam bidang ekonomi. Politik ekonomi Islam adalah penerapan berbagai kebijakan yang menjamin tercapainya pemenuhan semua kebutuhan pokok (primer) tiap individu masyarakat secara keseluruhan, disertai adanya jaminan yang memungkinkan setiap individu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pelengkap (sekunder dan tersier) sesuai dengan kemampuan yang mereka.

Dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhan hidup manusia, Islam memperhatikan pemenuhan kebutuhan setiap anggota masyarakat dengan fokus perhatian bahwa manusia diperhatikan sebagai individu (pribadi), bukan sekadar sebagai suatu komunitas yang hidup dalam sebuah negara. Hal ini berarti Islam lebih menekankan pada pemenuhan kebutuhan secara individual dan bukan secara kolektif. Dengan kata lain, bagaimana agar setiap individu masyarakat dapat memenuhi seluruh kebutuhan pokok sekaligus dapat meningkatkan kesejahteraan mereka sehingga dapat memenuhi kebutuhan pelengkap (sekunder dan tersier). Bukan sekadar meningkatkan taraf hidup secara kolektif yang diukur dari rata-rata kesejahteraan seluruh anggota masyarakat (GNP). Dengam demikian, aspek distribusi sangatlah penting sehingga dapat dijamin secara pasti bahwa setiap individu telah terpenuhi kebutuhan hidupnya .

Ketika mensyariatkan hukum-hukum yang berkenaan tentang ekonomi kepada manusia, Allah Swt. telah mensyariatkan hukum-hukum tersebut untuk pribadi, masyarakat, dan negara. Adapun pada saat mengupayakan adanya jaminan kehidupan serta jaminan pencapaian kemakmuran, Islam telah menetapkan bahwa semua jaminan harus direalisasikan dalam sebuah negara yang memiliki pandangan hidup (way of life) tertentu. Oleh karena itu, sistem Islam memperhatikan hal-hal yang menjadi tuntutan individu dan masyarakat dalam merealisasikan jaminan kehidupan serta jaminan pencapaian kemakmuran.

Pemenuhan Kebutuhan Pokok Masyarakat

Yang termasuk dalam kebutuhan pokok (primer) dalam pandangan Islam mencakup kebutuhan terhadap barang-barang tertentu berupa pangan, sandang dan papan, serta kebutuhan terhadap jasa-jasa tertentu, berupa pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Islam menjamin tercapainya pemenuhan seluruh kebutuhan pokok (primer) setiap warga negara (muslim dan nonmuslim) secara menyeluruh, baik kebutuhan yang berupa barang maupun jasa.

Dalam rangka memenuhi seluruh kebutuhan pokok masyarakat, menurut Islam negara menetapkan suatu strategi politik yang harus dilaksanakan agar pemenuhan tersebut dapat berjalan dengan baik. Secara garis besar strategi pemenuhan kebutuhan pokok dibedakan antara pemenuhan kebutuhan pokok yang berupa barang dengan kebutuhan pokok berupa jasa. Dalam hal ini dibutuhkan strategi pemenuhan kebutuhan pokok berupa barang sandang, pangan, dan papan; serta strategi pemenuhan kebutuhan pokok berupa jasa keamanan, kesehatan, dan pendidikan. Pengelompokkan ini dilakukan karena terdapat perbedaan antara pelaksanaan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok, serta antara kebutuhan yang berbentuk barang dengan yang berbentuk jasa.

Untuk pemenuhan kebutuhan pokok yang berupa barang, negara memberikan jaminan dengan mekanisme tidak langsung, yakni dengan jalan menciptakan kondisi dan sarana yang dapat menjamin terpenuhi kebutuhan tersebut. Sementara itu, berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan jasa pokok dipenuhi dengan mekanisme langsung, yakni negara secara langsung memenuhi kebutuhan jasa pokok tersebut.

1. Pemenuhan Kebutuhan Pokok Berupa Barang (Pangan, Sandang, dan Papan)

Untuk menjamin terlaksananya strategi pemenuhan kebutuhan pokok pangan, sandang, dan papan, maka Islam telah menetapkan beberapa hukum untuk melaksanakan strategi tersebut. Adapun strategi pemenuhan kebutuhan tersebut dilaksanakan secara bertahap, sesuai dengan kebutuhan dan hasil yang diperoleh dari pelaksanaan strategi tersebut. Tahap-tahap strategi tersebut adalah:

Langkah pertama: Memerintahkan kepada setiap kepala keluarga untuk bekerja.

Barang-barang kebutuhan pokok tidak mungkin diperoleh, kecuali manusia berusaha mencarinya. Islam mendorong manusia agar bekerja, mencari rezeki, dan berusaha. Bahkan, Islam telah menjadikan hukum mencari rezeki tersebut adalah fardhu. Banyak ayat dan hadis yang telah memberikan dorongan dalam mencari nafkah. Allah Swt. berfirman:


]هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ اْلأَرْضَ ذَلُولاً فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا
وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ[


“Dialah (Allah)yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya, serta makanlah sebagian rezeki-Nya” (QS al-Mulk [67]: 15).


Firman-Nya juga :


]فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلاَةُ فَانْتَشِرُوا فِي اْلأَرْضِ وَابْتَغُوا
مِنْ فَضْلِ اللهِ وَاذْكُرُوا اللهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ[

“…Maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung” (QS al-Jumu’ah [62]:10).


Firman-Nya yang lain :

]اَللهُ الَّذِي سَخَّرَ لَكُمُ الْبَحْرَ لِتَجْرِيَ الْفُلْكُ فِيهِ بِأَمْرِهِ وَلِتَبْتَغُوا مِنْ فَضْلِهِ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ[

“Allah-lah yang menundukkan lautan untukmu supaya kapal-kapal dapat berlayar padanya dengan izin-Nya, dan supaya kamu dapat mencari sebagian karunia-Nya dan mudah-mudahan kamu bersyukur” (QS al-Jaatsiyah [45]:12).

Nas-nas di atas juga memberikan penjelasan kepada kita, bahwa pada mulanya pemenuhan kebutuhan pokok dan upaya meningkatkan kesejahteraan hidup manusia adalah tugas individu itu sendiri, yakni dengan “bekerja”.

Langkah kedua: Negara menyediakan berbagai fasilitas lapangan kerja agar setiap orang yang mampu bekerja dapat memperoleh pekerjaan

Jika orang-orang yang wajib bekerja telah berupaya mencari pekerjaan, tapi ia tidak memperoleh pekerjaan, padahal mampu bekerja dan telah berusaha mencari pekerjaan tersebut, maka negara wajib menyediakan lapangan pekerjaan atau memberikan berbagai fasilitas agar orang yang bersangkutan dapat bekerja untuk mencari nafkah penghidupan. Sebab, hal tersebut memang menjadi tanggung jawab negara. Rasullah saw bersabda:

«اْلاِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ»

“Seorang Imam adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat), dan ia akan diminta pertanggungjawaban terhadap urusan rakyatnya” (HR Bukhari dan Muslim).

Diriwayatkan dalam sebuah hadis bahwa Rasulullah saw. pernah memberikan dua dirham kepada seseorang, kemudian beliau saw. berkata kepadanya:

«كُلْ بِأَحَدِهِمَا وَاشْتَرِ بِاْلآخَرِ فَأْسًا وَاعْمَلْ بِهِ»

“Makanlah dengan satu dirham, dan sisanya belikanlah kapak, lalu gunakanlah ia untuk bekerja.”

Juga, dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari disebutkan, bahwa ada seseorang yang mencari Rasulullah, dengan harapan Rasulullah saw. akan memperhatikan masalah yang dihadapinya. Ia adalah sorang yang tidak mempunyai sarana yang dapat digunakan untuk bekerja dalam rangka mendapatkan suatu hasil (kekayaan), juga tidak mampu memenuhi kebutuhan pokoknya. Kemudian, Rasulullah saw. memanggilnya. Beliau menggenggam sebuah kapak dan sepotong kayu, yang diambil sendiri oleh beliau. Lalu, beliau serahkan kepada orang tersebut. Beliau perintahkan kepadanya agar ia pergi ke suatu tempat yang telah beliau tentukan dan bekerja di sana, dan nanti kembali lagi memberi kabar tentang keadaannya. Setelah beberapa waktu, orang itu mendatangi Rasulullah saw. seraya mengucapkan rasa terima kasih kepada beliau atas bantuannya. Ia menceritakan tentang kemudahan yang kini didapati.

Al-Badri (1992), menceritakan bahwa suatu ketika Amirul Mukminin, Umar bin Khathab r.a. memasuki sebuah masjid di luar waktu shalat lima waktu. Didapatinya ada dua orang yang sedang berdoa kepada Allah Swt. Lalu, Umar r.a. bertanya,“Apa yang sedang kalian kerjakan, sedangkan orang-orang di sana kini sedang sibuk bekerja?, Mereka menjawab,“Yaa Amirul Mukminin, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bertawakal kepada Allah Swt.” Mendengar jawaban tersebut, maka marahlah Umar, seraya berkata,“Kalian adalah orang-orang yang malas bekerja, padahal kalian tahu bahwa langit tidak akan menurunkan hujan emas dan perak.” Kemudian, Umar mengusir mereka dari masjid, tapi memberi mereka setakar biji-bijian. Beliau katakan kepada mereka,“Tanamlah dan bertawakallah kepada Allah.”

Dari sinilah, maka para ulama menyatakan bahwa wajib atas Waliyyul Amri (pemerintah) memberikan sarana-sarana pekerjaan kepada para pencari kerja. Menciptakan lapangan kerja adalah kewajiban negara dan merupakan bagian tanggung jawabnya terhadap pemeliharaan dan pengaturan urusan rakyat. itulah kewajiban yang telah ditetapkan secara syar’i, dan telah diterapkan oleh para pemimpin negara Islam (Daulah Islamiah), terutama di masa-masa kejayaan dan kecemerlangan penerapan Islam dalam kehidupan.

Langkah ketiga: Memerintahkan kepada setiap ahli waris atau kerabat terdekat untuk bertanggung jawab memenuhi kebutuhan pokok orang-orang tertentu jika ternyata kepala keluarganya sendiri tidak mampu memenuhi kebutuhan orang-orang yang menjadi tanggungannya

Jika negara telah menyediakan lapangan pekerjaan dan berbagai fasilitas pekerjaan, tapi seorang individu tetap tidak mampu bekerja sehingga tidak mampu mencukupi nafkah anggota keluarga yang menjadi tanggung jawabnya, maka kewajiban nafkah itu dibebankan kepada para kerabat dan ahli warisnya, sebagaimana firman Allah Swt. :

]وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
لاَ تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلاَّ وُسْعَهَا لاَ تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا
وَلاَ مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ[

“Kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. Seorang tidak dibebani selain menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan ahli waris pun berkewajiban demikian…” (QS al-Baqarah [2]:233).

Ayat al-Quran di atas menjelaskan bahwa adanya kewajiban atas ahli waris. Seorang anak wajib memberikan nafkah kepada orang tuanya (yang tidak mampu) untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Maksud “al waarits” pada ayat tersebut, tidak hanya orang yang telah mendapat warisan semata, tetapi semua orang yang berhak mendapat warisan dalam semua keadaan. Rasulullah saw. telah bersabda:


«أَنْتَ وَمَالُكَ ِلأَبِيْكَ»

“Kamu dan hartamu adalah untuk (keluarga dan) bapakmu” (HR Ibnu Majah).

Jika ada yang mengabaikan kewajiban nafkah kepada orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya, sedangkan ia berkemampuan untuk itu, maka negara berhak memaksanya untuk memberikan nafkah yang menjadi kewajibannya. Hukum-hukum tentang nafkah ini telah banyak diulas panjang lebar dalam kitab-kitab fiqh Islam.

Langkah keempat: Mewajibkan kepada tetangga terdekat yang mampu untuk memenuhi sementara kebutuhan pokok (pangan) tetangganya yang kelaparan

Jika seseorang tidak mampu memberi nafkah terhadap orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya, baik terhadap sanak keluarganya maupun mahramnya, dan ia pun tidak memiliki sanak kerabat atau mahram yang dapat menanggung kebutuhannya, maka kewajiban pemberian nafkah itu beralih kepada baitul mal (negara). Namun, sebelum kewajiban tersebut beralih kepada negara, dalam rangka menjamin hak hidup orang-orang yang tidak mampu tersebut, maka Islam juga telah mewajibkan kepada tetangga dekatnya yang muslim untuk memenuhi kebutuhan kebutuhan pokok orang-orang tersebut, khususnya berkaitan dengan kebutuhan pangan untuk menyambung hidup. Dalam hal ini Rasulullah saw. pernah bersabda:

“Tidak beriman kepadaku, tidak beriman kepadaku, tidak beriman kepadaku, orang yang pada malam hari tidur dalam keadaan kenyang, sementara tetangganya kelaparan dan dia mengetahui hal tersebut” (HR al-Bazzar).

Bantuan tetangga itu tentunya hanya bersifat sementara sampai tetangganya yang diberi bantuan tidak meninggal karena kelaparan. Untuk jangka panjang, maka negara yang berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Negaralah (baitul mal) memang yang berfungsi menjadi penyantun orang-orang lemah dan butuh, sedangkan pemerintah adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyatnya.

Langkah kelima: Negara secara langsung memenuhi kebutuhan pangan, sandang, dan papan dari seluruh warga negara yang tidak mampu dan membutuhkan

Menurut Islam negara (baitul mal) berfungsi menjadi penyantun orang-orang lemah dan membutuhkan, sedangkan pemerintah adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyatnya. Dalam hal ini negara akan diminta pertanggungjawaban terhadap rakyat yang menjadi tanggungannya. Dalam rangka memenuhi kebutuhan pokok individu masyarakat yang tidak mampu memenuhi kebutuhannya secara sempurna–baik karena mereka telah berusaha, tapi tidak cukup (fakir dan miskin), maupun terhadap orang-orang yang lemah dan cacat yang tidak mampu untuk bekerja–maka negara harus menempuh berbagai cara untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Negara dapat saja memberikan nafkah baitul mal tersebut berasal dari harta zakat yang merupakan kewajiban syar’i, dan diambil oleh negara dari orang-orang kaya, sebagaimana firman Allah Swt.:

]خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا[

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka…” (QS at-Taubah [9]:103).

Dalam hal ini negara berkewajiban menutupi kekurangan itu dari harta benda Baitul Mal (di luar harta zakat) jika harta benda dari zakat tidak mencukupi. Rasulullah saw. bersabda:

“Tidak ada seorang muslim pun, kecuali aku bertanggung jawab padanya di dunia dan akhirat. Lalu, Rasulullah saw. membacakan firman Allah Swt.,“Para nabi itu menjadi penanggung jawab atas diri orang-orang beriman.” Rasul selanjutnya bersabda,“Oleh karena itu, jika seorang mukmin mati dan meninggalkan harta warisan, silakan orang-orang yang berhak mendapatkan warisan mengambilnya. Namun, jika dia mati dan meninggalkan utang atau orang-orang yang terlantar, maka hendaknya mereka datang kepadaku, sebab aku adalah penanggung jawabnya” (HR Kutub as-Sittah).

Bukan lagi sesuatu yang mengherankan, selain bertindak sebagai utusan (Rasul) Allah, beliau saw. pun adalah seorang kepala negara dalam sistem kehidupan, melaksanakan uqubat (sanksi-sanksi), menegakkan hudud, mengadakan perjanjian-perjanjian dengan negara-negara tetangga Daulah Islamiah, menyatakan perang terhadap musuh-musuh Islam, dan menghadapi segala macam intrik yang dilancarkan setiap kepala negara musuh, termasuk juga menjamin kebutuhan masyarakat serta menyelesaikan persoalan ekonomi masyarakat. Beliau saw. bersabda:

«فَأَيُّمَا مُؤْمِنٍ مَاتَ وَتَرَكَ مَالاً فَلْيَرِثْهُ عَصَبَتُهُ مَنْ كَانُوْا، وَمَنْ تَرَكَ دَيْناً أَوْضَيَاعًا فَلْيَأْتِنِي فَأَنَا مَوْلاَهُ»

“Siapapun orang mukmin yang mati sedang dia meninggalkan harta, maka wariskanlah hartanya itu kepada keluarganya yang ada. Siapa saja yang mati sedang dia menyisakan utang atau dhayâ’an, maka serahkanlah kepadaku. Selanjutnya, aku yang akan menanggungnya” (HR Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud).

Pangan dan sandang adalah kebutuhan pokok manusia yang harus terpenuhi. Tidak seorang pun yang dapat melepaskan diri dari dua kebutuhan itu. Oleh karena itu, Islam menjadikan dua hal itu sebagai nafkah pokok yang harus diberikan kepada orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya. Demikianlah, negara harus berbuat sekuat tenaga dengan kemampuannya, sesuai dengan ketentuan-ketentuan Islam, yang bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan dan memungkinkan dinikmati oleh setiap individu yang tidak mampu meraih kemaslahatan itu.

Sebagai jaminan akan adanya peraturan pemenuhan urusan pemenuhan kebutuhan tersebut, dan merupakan realisasi tuntutan syariat Islam, Umar bin Khathab telah membangun suatu rumah yang diberi nama “daar ad daqiiq” (rumah tepung). Di sana tersedia berbagai jenis tepung, kurma, dan barang-barang kebutuhan lainnya, yang tujuannya menolong orang-orang yang singgah dalam perjalanan dan memenuhi kebutuhan orang-orang yang membutuhkan, sampai ia terlepas dari kebutuhan itu. Rumah itu dibangun di jalan antara Makkah dan Syam, di tempat yang strategis dan mudah dicari (dicapai) oleh para musafir. Rumah yang sama, juga dibangun di jalan di antara Syam dan Hijaz.

Sistem Islam yang diterapkan untuk memenuhi kebutuhan ini diterapkan atas seluruh masyarakat, baik muslim maupun nonmuslim yang memiliki identitas kewarganegaraan Islam, juga mereka yang tunduk kepada peraturan dan kekuasaan negara (Islam), berdasarkan sabda Rasulullah saw. yang memberikan penjelasan tentang orang-orang kafir dzimmi:

“Mereka (orang-orang kafir dzimmi) mendapat hak apa yang menjadi hak kita, dan mereka mendapatkan (terkena) kewajiban yang sama halnya seperti kita mendapatkan (terkena) kewajiban.”

Juga sabdanya:

“Sesungguhnya telah kami berikan apa yang telah kami tentukan, agar darah (derajat) kita setaraf dengan darah (derajat) mereka, serta harta kita setaraf dengan harta mereka.”

Itulah hukum-hukum syariat Islam, yang memberikan alternatif cara pemenuhan kebutuhan hidup dan mewujudkan kesejahteraan bagi tiap individu masyarakat, dengan cara yang agung dan mulia. Hal itu akan mencegah individu-individu masyarakat yang sedang dililit kebutuhan berusaha memenuhi kebutuhan mereka dengan menghinakan diri (meminta-minta).

2. Pemenuhan Kebutuhan Pokok Berupa Jasa (Pendidikan, Kesehatan, dan Keamanan)

Pendidikan, kesehatan, dan keamanan, adalah kebutuhan asasi dan harus dikecap oleh manusia dalam hidupnya. Berbeda dengan kebutuhan pokok berupa barang (pangan, sandang, dan papan), saat Islam melalui negara menjamin pemenuhannya melalui mekanisme yang bertahap, maka terhadap pemenuhan kebutuhan jasa pendidikan, kesehatan, dan keamanan dipenuhi negara secara langsung kepada setiap individu rakyat. Hal ini karena pemenuhan terhadap ketiganya termasuk masalah “pelayanan umum” (ri’ayatu asy syu-uun) dan kemaslahatan hidup terpenting. Islam telah menentukan bahwa yang bertanggung jawab menjamin tiga jenis kebutuhan dasar tersebut adalah negara. Negaralah yang harus mewujudkannya, agar dapat dinikmati seluruh rakyat, baik muslim maupun nonmuslim, miskin atau kaya. Adapun seluruh biaya yang diperlukan, ditanggung oleh Baitul Mal.

Dalam masalah pendidikan, menjadi tanggung jawab negara untuk menanganinya, dan termasuk kategori kemaslahatan umum yang harus diwujudkan oleh negara agar dapat dinikmati seluruh rakyat. Gaji guru, misalnya, adalah beban yang harus dipikul negara dan pemerintah dan diambil dari kas baitul mal. Rasulullah saw. telah menetapkan kebijaksanaan terhadap para tawanan perang Badar. Beliau katakan bahwa para tawanan itu bisa bebas sebagai status tawanan apabila seorang tawanan telah mengajarkan 10 orang penduduk Madinah dalam baca-tulis. Tugas itu menjadi tebusan untuk kebebasan dirinya.

Kita mengetahui bahwa barang tebusan itu tidak lain adalah hak milik baitul mal. Tebusan itu nilainya sama dengan harta pembebasan dari tawanan lain dalam perang Badar itu. Dengan tindakan tersebut (yakni membebankan pembebasan tawanan itu ke baitul mal dengan cara menyuruh para tawanan tersebut mengajarkan kepandaian baca-tulis), berarti Rasulullah saw. telah menjadikan biaya pendidikan itu setara dengan barang tebusan. Artinya, beliau memberi upah kepada para pengajar itu dengan harta benda yang seharusnya menjadi milik baitul mal.

Menurut Al-Badri (1990), Ad-Damsyiqy menceritakan suatu peristiwa dari Al-Wadliyah bin Atha’, yang mengatakan bahwa di kota Madinah ada tiga orang guru yang mengajar anak-anak. Khalifah Umar Ibnu Al Khathab, atas jerih-payah itu, memberikan gaji kepada mereka sebesar 15 dinar setiap bulan (satu dinar = 4,25 gram emas). Totalnya, 63,75 gram emas. Jadi, kalaulah dianggap satu gram emas harganya sekitar Rp70.000, berarti gaji guru pengajar anak-anak itu, lebih kurang Rp4.462.500. (Bandingkan dengan gaji guru sekarang!)

Pendidikan adalah kewajiban yang harus dilakukan oleh manusia. Sementara itu, negara berkewajiban menjadikan saran-sarana dan tempat-tempat pendidikan. Rasulullah saw. bersabda:

«طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ»

“Mencari ilmu adalah kewajiban atas setiap muslim” (HR Thabrani).

Al-Badri (1990) juga menceritakan Imam Ibnu Hazm, dalam kitab “Al Ahkaam”, setelah memberikan batas ketentuan untuk ilmu-ilmu yang tidak boleh ditinggalkan, agar ibadah dan muamalah kaum muslim dapat diterima (sah). Beliau menjelaskan bahwa seorang imam atau kepala negara berkewajiban memenuhi sarana-sarana pendidikan, sampai pada ungkapannya:

“Diwajibkan atas seorang imam untuk menangani masalah itu dan menggaji orang-orang tertentu untuk mendidik masyarakat.”

Mencari ilmu adalah kewajiban yang harus dipikul oleh setiap individu (fardhu ‘ain). Ilmu-ilmu lain yang bersifat fardhu kifayah (fardhu atas sebagian kaum muslim) tidak akan gugur kewajiban mencarinya sebelum sebagian kaum muslim berhasil melaksanakannya dalam batas yang mencukupi. Misalnya, ilmu ekonomi, kedokteran, industri, elektronika, mekanika, dan ilmu-ilmu lain yang sangat bermanfaat dan dibutuhkan dalam kehidupan kaum muslim.

Adapun yang berhubungan dengan jaminan kesehatan, diriwayatkan bahwa Mauquqis, Raja Mesir, pernah menugaskan (menghadiahkan) seorang dokter (ahli pengobatan)nya untuk Rasulullah saw. Oleh Rasulullah, dokter tersebut dijadikan sebagai dokter kaum muslim dan untuk seluruh rakyat, dengan tugas mengobati setiap anggota masyarakat yang sakit. Tindakan Rasulullah itu, dengan menjadikan dokter tersebut sebagai dokter kaum muslim, menunjukkan bahwa hadiah tersebut bukanlah untuk kepentingan pribadi. Dengan demikian, hadiah semacam itu bukanlah khusus diperuntukkan bagi Beliau, tetapi untuk kaum muslim, atau untuk negara. Lain halnya apabila hadiah tersebut dipakai oleh beliau pribadi, seperti selimut bulu dan keledai hadiah dari Raja Aikah, misalnya, maka hadiah seperti itu memang khusus untuk pribadi, bukan untuk seluruh kaum muslim.

Demikianlah, pemanfaatan dan penentuan Rasulullah saw. terhadap suatu hadiah yang diterimanya, telah menjelaskan kepada kita bagaimana bentuk hadiah yang bernilai khusus pribadi dan untuk kemaslahatan umum. Juga bagaimana bentuk suatu hadiah yang diberikan kepada kepala negara, wakil atau penggantinya. Hadiah itu masuk ke dalam kekayaan Baitul Mal dan untuk seluruh kaum muslim.

Pada masa lalu, Daulah Islamiah telah menjalankan fungsi ini dengan sebaik-baiknya. Negara menjamin kesehatan masyarakat, mengatasi dan mengobati orang-orang sakit, serta mendirikan tempat-tempat pengobatan. Rasulullah saw. pernah membangun suatu tempat pengobatan untuk orang-orang sakit dan membiayainya dengan harta benda Baitul Mal.

Pernah serombongan orang berjumlah delapan orang dari Urairah datang mengunjungi Rasulullah saw. di Madinah. Mereka kemudian menyatakan keimanan dan keislamannya kepada Rasulullah, karena Allah. Di sana, mereka terserang penyakit dan menderita sakit limpa. Rasulullah memerintahkan mereka beristirahat di pos penggembalaan ternak kaum muslim milik Baitul Mal, di sebelah Quba’, di tempat yang bernama “Zhi Jadr”. Mereka tinggal di sana hingga sembuh dan gemuk kembali. Mereka diizinkan meminum susu binatang-binatang ternak itu (unta), karena mereka memang berhak.

Dalam buku “Tarikhul Islam as Siyasi” diceritakan bahwa Umar r.a. telah memberikan sesuatu dari Baitul Mal untuk membantu suatu kaum yang terserang penyakit lepra di jalan menuju Syam, ketika melewati daerah tersebut. Hal yang sama juga pernah dilakukan oleh para khalifah dan wali-wali (para pemimpin wilayah). Bahkan, Khalifah Walid bin Abdul Malik telah khusus memberikan bantuan kepada orang-orang yang terserang penyakit lepra. Dalam bidang pelayanan kesehatan ini, Bani Ibnu Thulun di Mesir, memiliki masjid yang dilengkapi dengan tempat-tempat untuk mencuci tangan, lemari tempat menyimpan minuman-minuman dan obat-obatan, serta dilengkapi dengan ahli pengobatan (dokter) untuk memberikan pengobatan gratis kepada orang-orang sakit. Jadi, keberadaan dokter di tengah masyarakat, terpecahnya problem kesehatan masyarakat, dan pembangunan sarana atau balai-balai kesehatan, adalah tugas-tugas yang dibebankan Islam terhadap negara. Negaralah yang bertanggung jawab terhadap perwujudan semua itu.

Dijadikannya keamanan sebagai salah satu kebutuhan (jasa) yang pokok mudah dipahami, sebab tidak mungkin setiap orang dapat menjalankan seluruh aktivitasnya terutama aktivitas yang wajib, seperti kewajiban ibadah, kewajiban bekerja, kewajiban bermuamalah secara Islami, termasuk menjalankan aktivitas pemerintahan sesuai dengan ketentuan Islam, tanpa adanya keamananan yang menjamin pelaksanaannya. Untuk melaksanakan ini semua, maka negara haruslah memberikan jaminan keamanan bagi setiap warga negara.

Adapun dalil yang menunjukkan bahwa keamanan adalah salah satu kebutuhan jasa pokok adalah sabda Rasulullah saw.:

«مَنْ أَصْبَحَ آمِنًا فِيْ سَرْبِهِ، مُعَافِيً فِيْ بَدَنِهِ عِنْدَهُ قُوْتُ يَوْمِهِ فَكَاَنَّمَا حِيْزَتْ لَهُ الدُّنْيَا بِحَذَافِيْرِهَا»

“Barang siapa yang ketika memasuki pagi hari mendapati keadaan aman kelompoknya, sehat badannya, memilliki bahan makanan untuk hari itu, maka seolah-olah dunia telah menjadi miliknya” (Al-Hadis).

Adapun dalil bahwa yang menjamin terpenuhinya adanya keamanan tersebut adalah tindakan Rasulullah saw. yang bertindak sebagai kepala negara yang memberikan keamanan kepada setiap warga negara (muslim dan kafir dzimmi) sebagaimana sabdanya :

»اُمِرْتُ اَنْ اُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُوْلُوْا لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهُ فَاِذَا قَالُوْهاَ عَصَمُوْا مِنِّي دِماَءَهُمْ وَاَمْوَالَهُمْ اِلاَّ بِحَقِّهَا«


“Sesungguhnya aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan Laa ilaha illallahu Muhammadur Rasulullah. Apabila mereka telah melakukannya (masuk Islam atau tunduk pada aturan Islam), maka terpelihara olehku darah-darah mereka, harta-harta mereka, kecuali dengan jalan yang hak. Adapun hisabnya terserah kepada Allah” (HR Bukhari, Muslim, dan pemilik sunan yang empat).

Mekanisme untuk menjamin keamanan setiap anggota masyarakat adalah dengan jalan menerapkan aturan yang tegas kepada siapa saja yang akan mengganggu keamanan jiwa, darah, dan harta orang lain. Sebagai gambaran, siapa saja yang mengganggu keamanan jiwa orang lain, yakni dengan jalan membunuh orang lain, maka orang tersebut menurut hukum Islam harus dikenakan sanksi berupa qishash, yakni hukum balasan yang setimpal kepada orang yang melakukan kejahatan tersebut. Termasuk di dalamnya keamanan harta milik pekerja dari upah yang seharusnya mereka miliki, serta keamanan harta milik pengusaha dari perusahaan dan aset yang mereka miliki.

Dengan demikian, jelaslah bahwa Islam memberikan jaminan terhadap pemenuhan kebutuhan pokok setiap warga masyarakat, berupa pangan, sandang, dan papan. Demikian pula Islam telah menjamin terselenggaranya penanganan masalah pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Dijadikannya semua itu sebagai kewajiban negara, serta bagian dari tugasnya sebagai pemelihara dan pengatur urusan rakyat. Negaralah yang melaksanakan dan menerapkannya berdasarkan syariat Islam.

Dengan dilaksanakan politik ekonomi Islam tersebut, beberapa permasalahan pokok ketenagakerjaan yang berkaitan dengan masalah pemenuhan kebutuhan pokok dapat diatasi. Pengangguran diharapkan akan berkurang karena ketersediaan lapangan kerja dapat di atasi; masalah buruh wanita dan pekerja di bawah umur tidak akan muncul karena mereka tidak perlu harus terjun ke pasar tenaga kerja untuk mencari nafkah memenuhi kebutuhan hidupnya. Demikian pula permasalahan tunjangan sosial berupa pendidikan dan kesehatan bukanlah masalah yang harus dikhawatirkan pekerja. Termasuk jaminan untuk memperoleh upah yang menjadi hak pekerja dapat diberikan.

Cara Islam Menyesaikan Masalah Kontrak Pengusaha-Pekerja

Kontak kerja antara pengusaha dan pekerja adalah kontrak kerja sama yang harusnya saling menguntungkan. Pengusaha diuntungkan karena memeroleh jasa dari pekerja untuk melaksanakan pekerjaan tertentu yang dibutuhkan pengusaha. Sebaliknya, pekerja diuntungkan karena memperoleh penghasilan dari imbalan yang diberikan pengusaha karena memberikan jasa kepada pengusaha. Karena itulah, hubungan ketenagakerjaan di dalam pandangan Islam adalah hubungan kemitraaan yang harusnya saling menguntungkan. Tidak boleh satu pihak menzalimi dan merasa dizalimi oleh pihak lainnya.

Agar hubungan kemitraan tersebut dapat berjalan dengan baik dan semua pihak yang terlibat saling diuntungkan, maka Islam mengaturnya secara jelas dan terperinci dengan hukum-hukum yang berhubungan dengan ijaratul ajir (kontrak kerja). Pengaturan tersebut mencakup penetapan ketentuan-ketentuan Islam dalam kontrak kerja antara pengusaha dan pekerja; penetapan ketentuan yang mengatur penyelesaian perselisihan yang terjadi antara pengusaha dan pekerja. Termasuk ketentuan yang mengatur bagaimana cara mengatasi tindakan kezaliman yang dilakukan salah satu pihak (pengusaha dan pekerja) terhadap pihak lainnya. Untuk itu, ada beberapa langkah yang ditawarkan Islam untuk dapat mengatasi dan menyelesaikan permasalahan ketenagakerjaan yang berhubungan dengan kontrak kerja antara pengusaha dan pekerja. Langkah-langkah tersebut adalah:

Mengharuskan kontrak kerja antara pengusaha dan pekerja sesuai dengan ketentuan Islam dalam akad ijaratul ajir

Salah satu bentuk pekerjaan yang halal untuk dilakukan adalah apa yang disebut dengan ijaratul ajir, yakni bekerja dalam rangka memberikan jasa (berupa tenaga atapun keahlian) kepada pihak tertentu dengan imbalan sejumlah upah tertentu. Ijarah adalah pemberian jasa dari seorang ajiir (orang yang dikontrak tenaganya) kepada seorang musta’jir (orang yang mengontrak tenaga), serta pemberian harta dari pihak musta’jir kepada seorang ajiir sebagai imbalan dari jasa yang diberikan. Oleh karena itu, ijarah didefinisikan sebagai transaksi terhadap jasa tertentu dengan disertai imbalan (kompensasi).

Dalam transaksi ijarah terdapat dua pihak yang terlibat, yakni pihak yang memberikan jasa dan mendapatkan upah atas jasa yang diberikan, yang disebut dengan pekerja (ajir), serta pihak penerima jasa atau pemberi pekerjaan, yakni pihak yang memberikan upah yang disebut dengan pengusaha/majikan (musta’jir). Menurut Islam, suatu transaksi ijarah yang akan dilakukan haruslah memenuhi prinsip-prinsip pokok transaksi ijarah. Prinsip-prinsip pokok transaksi menurut Islam adalah:

Jasa yang ditransaksikan adalah jasa yang halal dan bukan jasa yang haram. Dengan demikian, dibolehkan melakukan transaksi ijarah untuk keahlian memproduksi barang-barang keperluan sehari-hari yang halal, seperti untuk memproduksi makanan, pakaian, peralatan rumah tangga, dan lain-lain. Namun, tidak dibolehkan melakukan transaksi ijarah untuk keahlian membuat minuman keras (khamr), membuat narkotika dan obat-obat terlarang, atau segala aktivitas yang terkait dengan riba.

Memenuhi syarat sahnya transaksi ijarah, yakni: (a) orang-orang yang mengadakan transaksi (ajiir & musta’jir) haruslah sudah mumayyiz, yakni sudah mampu membedakan baik dan buruk. Maka dari itu, tidak sah melakukan transaksi ijarah jika salah satu atau kedua pihak belum mumayyiz, seperti anak kecil yang belum mampu membedakan baik dan buruk, orang yang lemah mental, orang gila, dan sebagainya; (b) transaksi (akad) harus didasarkan pada keridhaan kedua pihak, tidak boleh ada unsur paksaan.

Transaksi (akad) ijarah haruslah memenuhi ketentuan dan aturan yang jelas yang dapat mencegah terjadinya perselisihan di antara kedua pihak yang bertransaksi. Ijarah adalah memanfaatkan jasa sesuatu yang dikontrak. Apabila transaksi tersebut berhubungan dengan seorang ajiir, maka yang dimanfaatkan adalah tenaganya. Karena itu, untuk mengontrak seorang ajiir tadi harus ditentukan bentuk kerjanya, waktu, upah, serta tenaganya. Untuk itu, jenis pekerjaannya harus dijelaskan sehingga tidak kabur. Transaksi ijarah yang masih kabur, hukumnya adalah fasid (rusak). Selain itu, waktunya juga harus ditentukan, semisal harian, bulanan, atau tahunan. Di samping itu, upah kerjanya juga harus ditetapkan. Karena itu, dalam transaksi ijarah, hal-hal yang harus jelas ketentuannya adalah menyangkut: (a) bentuk dan jenis pekerjaan, (b) masa kerja; (c) upah kerja; serta (d) tenaga yang dicurahkan saat bekerja

Dengan jelasnya dan terperincinya ketentuan-ketentuan dalam transaksi ijaratul ajir tersebut, maka diharapkan setiap pihak dapat memahami hak dan kewajiban mereka masing-masing. Pihak pekerja di satu sisi wajib menjalankan pekerjaan yang menjadi tugasnya sesuai dengan transaksi yang ada; di sisi lain ia berhak mendapatkan imbalan sesuai dengan kesepakatan yang ada. Demikian pula pihak pengusaha berkewajiban membayar upah pekerja dan menghormati transaksi kerja yang telah dibuat dan tidak bisa bertindak semena-mena terhadap pekerja. Misalnya, secara sepihak melakukan PHK; memaksa pekerja bekerja di luar jam kerjanya. Namun, pengusaha juga berhak mendapatkan jasa yang sesuai dengan transaksi dari pekerja; berhak menolak tuntutan-tuntuan pekerja di luar transaksi yang disepakati, seperti tuntutan kenaikan gaji, tuntutan tunjangan, dan sebagainya.

Negara akan mencegah tidak kezaliman yang dilakukan satu pihak kepada pihak lainnya

Kezaliman dalam kontrak kerja dapat dilakukan pengusaha terhadap pekerja dan sebaliknya dapat dilakukan pekerja terhadap pengusaha. Termasuk kezaliman pengusaha terhadap pekerja adalah tindakan mereka yang tidak membayar upah pekerja dengan baik, memaksa pekerja bekerja di luar kontrak kerja yang disepakati, melakukan pemutusan hubungan kerja secara semena-mena, termasuk tidak memberikan hak-hak pekerja, seperti hak untuk dapat menjalankan kewajiban ibadah, hak untuk istirahat jika dia sakit, dan sebagainya. Berkaitan dengan pengusaha yang zalim Rasul saw. telah mengingatkan dalam hadisnya. Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda, Allah Swt. berfirman:

«ثَلاَثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: رَجُلٌ اَعْطَى بِيْ ثُمَّ غَدَرَ، رَجُلٌ بَاعَ حُرَّا فَأَكَلَ ثَمَنُهُ، وَرَجُلٌ إِسْتَأْجَرَ أَجِيْرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ وَلَمْ يُوْفِهِ أَجْرَهُ»

“Tiga orang yang Aku musuhi pada hari kiamat nanti adalah orang yang telah memberikan (baiat kepada khalifah) karena Aku, lalu berkhianat; orang yang menjual (sebagai budak) orang yang merdeka, lalu dia memakan harga (hasil) penjualannya; serta orang yang mengontrak pekerja, kemudian pekerja tersebut menunaikan pekerjaannya, sedangkan orang itu tidak memberikan upahnya” (HR Ahmad, Bukhari, dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah).

Adapun kezaliman yang dilakukan pekerja terhadap pengusaha adalah jika pekerja tidak menunaikan kewajibannya yang menjadi hak pengusaha, seperti bekerja sesuai jam kerja yang ditentukan, tidak melakukan perusakan terhadap aset milik pengusaha, dan sebagainya.

Dalam rangka mencegah kezaliman yang terjadi dalam kontak kerja tersebut, maka Islam memberlakukan hukum-hukum yang tegas kepada siapa saja yang melakukan kezaliman, baik itu pengusaha maupun pekerja. Hukum-hukum itu diberlakukan agar tidak boleh ada kezaliman satu pihak terhadap pihak lainnya.

3. Menetapkan dan mengatur mekanisme penyelesaian persengkatan dalam kontrak kerja

Meskipun Islam telah mengantisipasi segala hal yang dapat menyebabkan persengketaan antara pengusaha dan pekerja, yakni dengan jalan menetapkan ketentuan-ketentuan yang sangat terperinci seperti yang dikemukakan di atas, tapi peluang terjadinya perselisihan pengusaha dan pekerja masih ada. Untuk mengatasi perselisihan yang terjadi antara pengusaha dan pekerja, baik dalam masalah gaji, masalah penetapan beban kerja, maupun dalam persoalan lainnya, Islam memberikan solusi dengan jalan pembentukan wadah penyelesaian persengketaan perburuhan. Wadah ini dapat berbentuk perseorangan ataupun lembaga yang ditunjuk, baik oleh kedua pihak yang bersengketa, maupun disediakan oleh negara untuk menyelesaikan berbagai persengketaan perburuhan. Wadah atau badan ini semacam “badan arbitrase” yang keputusannya diharapkan bersifat mengikat dan final. Orang yang duduk di dalam badan ini adalah orang-orang yang adil dan mereka yang ahli dalam masalah perburuhan. Tenaga ahli yang disebut khubara’ inilah yang diharapkan dapat menyelesaikan perselisihan tersebut.

Khatimah

Demikianlah pandangan dan cara Islam dalam mengatasi dan menyelesaikan masalah ketenagakerjaan yang ada. Solusi yang ditawarkan Islam bukanlah solusi yang tambal sulam, melainkan solusi yang fundamental dan komprehensif terhadap persoalan-persoalan masyarakat, termasuk masalah ketenagakerjaan. Sudah saatnya bangsa Indonesia berpaling pada Islam untuk menyelesaikan berbagai persoalan bangsa termasuk masalah ketenagakerjaan. Wallahu a’lam bi ash-shawwab

Baca Selengkapnya untuk Serial Syariah Islam : Politik Perburuhan dalam Islam...

Dinamika Jaringan Perburuhan di Indonesia

Posted by F.SP.LEM - K.SPSI KAB.TANGERANG

Angin Segar Gerakan Buruh
Indrasari Tjandraningsih dan Rina Herawati


….bahwa di tengah badai sekalipun
selalu akan kita
temukan berkas-berkas cahaya

SECARA umum, gerakan buruh di Indonesia diyakini telah atau tengah tidur panjang. Keyakinan ini diamini, baik oleh elemen dan pendukung gerakan maupun - dan terutama - oleh kalangan yang berada di luar gerakan. Bahkan, untuk sementara kalangan, gerakan buruh dianggap tidak lagi relevan dan tidak memiliki harapan.



Pandangan semacam itu tidak sepenuhnya salah. Secara sistematis dan obyektif, memang muncul fakta-fakta yang melahirkan dan menguatkan pandangan tersebut. Sejak Orde Baru (Orba) berkuasa, politik perburuhan didominasi oleh warna korporatis, dengan kebijakan-kebijakan perburuhan yang represif untuk mengendalikan serikat buruh. Hasilnya adalah serikat buruh kuning yang jinak. Meskipun ada dinamika yang memunculkan riak-riak yang berbeda di permukaan tapi, secara umum, hampir sepanjang Orba, praktis tak ada yang dapat disebut sebagai gerakan buruh.

Namun, pengamatan yang sedikit lebih mendalam memperlihatkan, justru dalam tekanan bibit-bibit gerakan terus disemai dan tumbuh dan merupakan penyumbang bagi bergeliatnya gerakan buruh di masa-masa setelahnya hingga kini.

Setelah Orde Baru tumbang, pintu kebebasan berserikat dibuka lebar. Kebebasan itu dirayakan dengan bermunculannya serikat buruh dalam jumlah yang mencengangkan. Tapi, perayaan itu juga diikuti dengan perpecahan dan persaingan antar serikat. Selain itu, kebebasan berserikat juga tidak menambah jumlah buruh yang berserikat.

Meskipun demikian, sejak paruh kedua dekade pertama orde reformasi, mulai muncul tunas-tunas bagi kebangkitan kembali gerakan buruh. Tunas-tunas baru ini bertumbuh di tengah situasi yang sangat didominasi oleh kekuatan modal, yang hampir sepenuhnya menentukan berapa luas ruang gerak yang dapat dimiliki oleh buruh. Dalam situasi sedemikian, menarik untuk memahami jaringan perburuhan sebagai salah satu strategi memperjuangkan kepentingan buruh dalam konteks gerakan buruh di Indonesia. Tulisan ini, ingin memotret pergerakan dan aktivitas para pelaku gerakan, melalui kegiatan berjaringan yang dilakukan, dengan mengambil rentang waktu 1980 hingga 2006.

Strategi Jaringan

Dinamika, bentuk aksi, dan hasil dari strategi berjaringan dipengaruhi oleh jalinan faktor internal dan eksternal yang tidak sepenuhnya dapat dikontrol oleh aktor-aktor gerakan. Dengan kata lain, tidak ada faktor penyebab tunggal yang bekerja yang menentukan dinamika dan keluaran dari strategi berjaringan.

Kebijakan pertumbuhan ekonomi melalui industrialisasi, yang bertumpu pada investasi asing dan didukung oleh pengendalian serikat buruh, adalah kerangka dominan yang membingkai ruang gerak gerakan buruh selama Orde Baru (Orba) berkuasa hingga senjakalanya. Ketika rezim Orba berganti, tumpuan pada investasi asing semakin besar, meskipun pengendalian terhadap serikat buruh oleh negara praktis tidak ada. Tetapi, kebebasan berserikat ini secara sistematis dilemahkan oleh modal, dengan difasilitasi oleh pemerintah. Dengan kata lain, modal merupakan penentu utama, bila tidak satu-satunya, setting arena gerakan buruh di Indonesia sejak awalnya.

Mencermati perkembangan situasi perburuhan selama empat periode, berikut ini adalah ciri-ciri yang muncul:

Periode 80-90

Periode ini ditandai oleh iklim serikat buruh (SB) tunggal. Jaringan perburuhan hanya beranggotakan serikat buruh dan dibentuk oleh sebagian serikat buruh lapangan pekerjaan (SBLP) yang menolak unitarisme dari FBSI menjadi SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia), yang selanjutnya menghapus otoritas dan kewenangan SBLP dalam mengurus anggotanya dan mengalihkannya ke pengurus pusat SPSI. Aksi jaringan SBLP menghasilkan dikembalikannya kewenangan sektor dan metode pendidikan untuk penguatan basis di tingkat pabrik, sebagai ujung tombak kekuatan serikat. Keluaran dari metode pendidikan tersebut, adalah aktivis-aktivis tingkat basis yang kritis terhadap SPSI dan pemerintah, yang kelak menjadi tokoh serikat buruh alternatif.

Di masa ini, dikeluarkan kebijakan yang mengizinkan militer secara legal melakukan intervensi dan terlibat dalam kasus perselisihan perburuhan. Penempatan militer pensiun maupun aktif dalam jajaran manajemen maupun pengurus serikat, merupakan hal yang jamak. Semua ini menandai rezim perburuhan yang sangat represif tetapi, sekaligus memunculkan tokoh-tokoh perlawanan dari SPSI, yang kemudian menjadi motor jaringan untuk melawan keterlibatan militer dalam urusan perburuhan.

Akhir periode ini juga ditandai oleh munculnya LSM perburuhan, yang melakukan pembelaan terhadap eksploitasi dan kondisi kerja buruk, terutama buruh pabrik-pabrik padat karya yang menghasilkan garmen dan sepatu untuk pasar ekspor. Selain melakukan pembelaan, LSM perburuhan juga melakukan pendidikan organisasi dan hak-hak buruh kepada para buruh di tingkat pabrik.

Periode 90-97

Periode ini ditandai oleh SB tunggal federatif dan dibukanya kebebasan untuk mendirikan SB tingkat basis, meskipun tetap hanya satu serikat yang diakui pemerintah. Dimotori LSM, terbentuk jaringan perburuhan dengan aksi-aksi menolak militerisme dan menolak UU Ketenagakerjaan 25/1997. Di masa ini pula, lahir dua serikat buruh alternatif yang juga dimotori oleh LSM. Sangat jelas dalam periode ini, LSM memegang peran penting dalam membangun jaringan dan menggerakkan (isu-isu) buruh. Gerakan LSM perburuhan ini sama sekali terpisah dari SPSI sebagai institusi, akan tetapi berjaringan dengan aktivis-aktivisnya yang tidak puas dengan kinerja SPSI.

Intervensi militer dalam urusan perburuhan yang kian meresahkan, menjadi isu utama yang diangkat oleh jaringan perburuhan yang dimotori LSM tersebut. Iklim perlindungan HAM di tingkat internasional, berhembus pula di Indonesia. Momentum ini segera ditangkap oleh beberapa tokoh LSM perburuhan dengan membentuk SB alternatif. Pendirian SBSI dan pendeklarasiannya yang dihadiri oleh LSM perburuhan dan kelompok-kelompok buruh dampingan LSM dari Jawa dan Sumatera Utara, menunjukkan sentralnya peran LSM dalam gerakan buruh di periode ini.

Kasus Marsinah tahun 1993 yang menghebohkan, yang menjadi bukti intervensi militer, melahirkan berbagai jaringan LSM dan mahasiswa untuk menggalang solidaritas dan memprotes keras kasus tersebut. Tekanan jaringan terhadap kasus ini cukup efektif, juga karena didukung oleh media massa.

Aksi buruh paling fenomenal adalah yang dimotori ketua SBSI, yang mantan aktivis LSM, Mohtar Pakpahan, terjadi di Medan tahun 1994. Aksi ini berhasil mengerahkan ribuan buruh untuk menuntut besaran upah minimum.

LSM pula yang menjadi roh gerakan menolak UU Ketenagakerjaan tahun 25/97, di akhir senjakala Orde Baru. 12 LSM perburuhan bergabung dalam jaringan yang dinamai KPHP (Komisi Pembaruan Hukum Perburuhan), secara sistematis dan substansial melakukan aksi penolakan UU tersebut. Aksi itu ditandai dengan dikeluarkannya buku yang berisi pemikiran para ahli mengenai mengapa UU itu harus ditolak. Dalam pandangan KPHP, UU tersebut belum memuat hak-hak dasar buruh seperti jaminan atas pekerjaan, kebebasan berorganisasi dan mogok, lembaga penyelesaian perselisihan perburuhan yang adil. Aksi penolakan UU 25/97 juga dilengkapi dengan aksi massa oleh kelompok-kelompok buruh.

Dalam periode ini, pemerintah memberlakukan kebijakan upah minimum dan untuk selanjutnya, tuntutan upah minimum menjadi agenda aksi pokok dalam aksi-aksi buruh, disamping agenda menolak kebijakan-kebijakan lain yang merugikan buruh.

LSM juga membentuk jaringan untuk mengangkat isu perempuan dalam perburuhan, yang selama ini selalu terpisah. Jaringan ini beranggotakan aktivis perempuan LSM, yang mengurus isu perempuan dan kelompok-kelompok buruh perempuan. Mereka berusaha memasukkan isu perempuan dalam jaringan LSM dan buruh yang menangani isu buruh secara umum. Kegiatan jaringan untuk isu buruh perempuan ini, berhasil memasukkan gagasan tentang persoalan kesehatan reproduksi dan K3 dalam RUU PPK dan PHI, melalui jaringan yang beranggotakan LSM dan buruh untuk isu buruh yang lebih umum. Sayangnya, karena jaringan tersebut bubar, tak ada kelanjutan gagasan itu untuk diakomodasi dalam UU Ketenagakerjaan. Dalam kaitannya dengan pengangkatan isu perempuan, dibentuk jaringan buruh dan LSM yang bertujuan meningkatkan kapasitas kepemimpinan perempuan untuk mengurus organisasi buruh.

Peran penting yang dimainkan LSM dan pertautan hubungan yang intensif di antara LSM dengan kelompok buruh, mengalami pasang surut dan menghasilkan hubungan yang bersifat ‘benci tapi rindu.’ Beberapa pertemuan dilakukan di antara keduanya maupun internal masing-masing, membahas soal bagaimana sebaiknya peran LSM: menjadi serikat atau menjadi pendukung serikat. Perdebatan mengenai hal ini ternyata cukup tajam dan mampu menyebabkan perpecahan dalam jaringan. Di kalangan buruh, LSM acap dianggap sebagai penjual buruh kepada para donor. Tapi, pada saat yang sama, berbagai kebutuhan dana kelompok buruh dipenuhi melalui jaringannya dengan LSM yang mempunyai hubungan dan akses langsung kepada donor. Perdebatan ini tetap berlangsung di masa-masa setelahnya bahkan hingga saat ini (lihat, misalnya indoprogress.blogspot.com/2007/10 dan /2008/03/).

Periode 1998-2003

Periode ini ditandai dengan keragaman serikat buruh sebagai hasil dari kebebasan berserikat. Segera muncul puluhan serikat dan secara garis besar terdapat empat kelompok serikat buruh yakni, kelompok SPSI, kelompok pecahan SPSI, kelompok SB lama di masa tahun 60an, kelompok serikat yang tak ada latar belakang serikat buruh dan kelompok SB dukungan atau bentukan LSM.

Lima tahun pertama masa kebebasan berserikat, memperlihatkan situasi yang memprihatinkan. Serikat buruh yang menjadi elemen utama gerakan, selain sangat banyak ternyata juga rentan perpecahan. SPSI, misalnya, mengalami perpecahan yang intensif. Tiga kelompok serikat lain juga tak kebal terhadap perpecahan yang parah dan merisaukan.

Di tengah bermunculannya serikat, jaringan perburuhan yang dimotori LSM dan kelompok serikat buruh independen serta kelompok serikat pecahan SPSI, tetap aktif berdampingan dengan kegiatan jaringan buruh yang dimotori dan beranggotakan para aktivis serikat pekerja kelompok pecahan SPSI dan serikat yang baru sama sekali. Jaringan-jaringan tersebut dibentuk untuk merespon peraturan mengenai pesangon dan proses kebijakan perumusan paket 3 UU Perburuhan dengan strategi masing-masing. Jaringan untuk menolak perubahan ketentuan pesangon, sebagaimana dicantumkan dalam keputusan menteri No.78 tahun 2001 dan No.111 tahun 2001, dibentuk oleh SB dan LSM dengan melakukan tekanan melalui aksi massa yang dilakukan serentak di berbagai daerah di seluruh Indonesia. Aksi penolakan ini kemudian tidak berlanjut, karena perhatian dialihkan kepada isu RUU PPI dan PPK yang kelak menjadi UU Ketenagakerjaan dan UU PPHI.

Jaringan yang digerakkan oleh LSM, melakukan serangkaian kegiatan advokasi dengan konferensi pers, diskusi-diskusi pembahasan RUU, rapat dengar pendapat dengan parlemen yang dilengkapi dengan aksi massa, dan permintaan peninjauan kembali UU 13/2003. Jaringan serikat kelompok pecahan SPSI, mengambil strategi yang mirip dengan strategi jaringan LSM, tetapi tanpa aksi massa dan wakil-wakil mereka dipilih oleh parlemen untuk membahas RUU 13/2003 dan 04/2004. Jaringan kelompok ini juga mendapatkan fasilitas dari pemerintah, dalam berbagai bentuk antara lain penggunaan gedung Depnaker untuk mengadakan pertemuan-pertemuannya.

Jaringan lain yang muncul masa ini, adalah jaringan yang dibentuk untuk mendesak pemerintah agar secara resmi 1 Mei diakui sebagai hari buruh dan diperingati secara reguler. Jaringan ini mendesakkan tuntutannya melalui aksi-aksi massa yang diorganisir dengan rapi dan memperluas anggota jaringan dengan merangkul media massa, mahasiswa, aktivis etnis Cina dan LSM miskin kota, dan melakukan aksinya di setiap peringatan 1 Mei. Hingga kini, 1 Mei memang dapat diperingati oleh buruh dengan berbagai aksi dan kegiatan.

Muncul pula jaringan yang difasilitasi oleh donor, antara lain jaringan untuk memantau pelaksanaan Code of Conduct dengan anggota para aktivis serikat dan LSM perburuhan.

Di periode ini, peran LSM sebagai penggerak jaringan menyurut dibandingkan periode sebelumnya. Sebaliknya, serikat mulai memimpin dan mengambil inisiatif. Tampaknya, ini semacam konsekuensi logis dari munculnya organisasi-organisasi buruh karena iklim kebebasan berserikat. Dan secara alamiah, hal ini juga merupakan hasil dari proses pendidikan dan pengkaderan yang dilakukan oleh para aktivis perburuhan sebelumnya.

Periode 2004-2006

Situasi kebijakan yang memberlakukan praktek buruh kontrak dan outsourcing melalui UU 13/2003, menjadi agenda utama jaringan-jaringan buruh, yang di masa ini lebih banyak digerakkan oleh serikat. Strategi aksi massa untuk menolak praktek hubungan kerja yang sangat merugikan buruh itu, dilakukan oleh berbagai jaringan buruh, tidak saja di Jakarta tetapi juga di kota-kota lain. Peringatan 1 Mei, menjadi saat yang selalu digunakan untuk mengangkat isu ini. Isu ini juga menyatukan buruh dari berbagai serikat dan dari berbagai sektor, termasuk sektor jasa dan kerah putih yang selama ini tidak menjadi anggota jaringan.

Masa ini juga ditandai oleh keberadaan serikat yang semakin solid, setidaknya dengan dilakukannya aksi massa yang menggabungkan hampir semua kelompok serikat buruh. Satu aksi besar yang sangat berhasil yang dilakukan pada 1 Mei 2006, harus dicatat dalam sejarah gerakan buruh kita. Aksi itu berhasil membatalkan rencana pemerintah untuk melakukan revisi terhadap UU 13/2003. Aksi ini seperti mengulang keberhasilan aksi jaringan yang menolak UU 25/1997.

Dengan melihat jaringan-jaringan yang pernah ada dalam periode ini, bisa dikatakan, dibandingkan dengan periode sebelumnya, meski aktornya relatif tetap, jumlah jaringan yang terbentuk makin menyusut. Dalam jaringan-jaringan di periode ini, peran SB makin besar sementara peran LSM makin berkurang. Isu upah masih terus menjadi isu jaringan, sementara isu perempuan masih tetap menjadi isu pinggiran, dan sulit untuk bersinergi dengan isu yang dominan.

Namun demikian, perkembangan terakhir menunjukkan hal yang menggembirakan yakni, mulai terjadinya kristalisasi kekuatan serikat di tengah fragmentasi yang masih terus terjadi. SB terus belajar bahwa perpecahan bersifat kontraproduktif terhadap gerakan dan kepentingan buruh, dan bahwa hanya pihak ‘musuh’ yang akan diuntungkan dari perpecahan itu. Kristalisasi serikat itu adalah hasil dari kesadaran berjaringan bahwa aksi bersama lebih kuat pengaruhnya ketimbang aksi individual. ***

Indrasari Tjandraningsih dan Rina Herawati, adalah peneliti di AKATIGA-Pusat Analisis Sosial Bandung.

Artikel ini adalah ringkasan dari hasil penelitian Maret 2008.

Baca Selengkapnya untuk Dinamika Jaringan Perburuhan di Indonesia...

Daftar Posting F-SP.LEM Kab.Tangerang