Lembaga Tripartit: Sebuah Optimisme atau Jebakan?

Posted by F.SP.LEM - K.SPSI KAB.TANGERANG

Upaya revisi UU Perburuhan No. 13 tahun 2003 yang ingin dilakukan Pemerintah rezim Yudhoyono-Kalla ternyata tidak berbuah manis. Revisi yang bertujuan untuk menciptakan iklim investasi yang menarik bagi kalangan investor, khususnya investor asing, dalam rangka menanam modalnya didalam negeri mendapat banyak kecaman dari pihak pekerja itu sendiri. hal ini berangkat dari substansi revisi tersebut yang banyak mengabaikan hak-hak kaum pekerja didalam menjalankan perannya dalam proses akumulasi modal.


Hal ini tentu saja memaksa pemerintah yang berperan sebagai regulator dalam relasi industrial untuk memperhatikan suara-suara kalangan Pekerja yang menuntut agar dilindungi hak-haknya dalam relasi industrial tersebut. hal inilah yang menyebabkan pemerintah, dengan klaim dalam rangka upaya pembentukan kebijakan yang reprsentatif dan demokratis, membentuk lembaga tripartit yang salah satu tujuannya mempertemukan kepentingan-kepentingan yang terlibat dalam relasi industrial yaitu kalangan pengusaha, kalangan Pekerja, dan tentu saja Pemerintah itu sendiri.



Konteks Global

Bagaimana kita memahami relasi industrial yang terjadi di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari konteks globalisasi ekonomi yang ditandai dengan diberlakukannya Structural Adjusment Programme (SAP) pada negara-negara yang menjadi anggota WTO. Pasca penandatangan LoI (Letter of Intent) pada tahun 1997 antara Pemerintah Indonesia dengan IMF, struktur pasar domestik Indonsia semakin terintegrasi secara struktural dengan struktur pasar internasional. Integrasi ini tentu saja tidak terjadi dalam ruang yang vakum karena integrasi tersebut membawa banyak konsekuensi dimana salah satu konsekuensi tersebut adalah pemerintah dipaksa untuk melakukan deregulasi atas kebijakan ekonomi yang ada. proses deregulasi tersebut bertujuan untuk membongkar seluruh penghalang (barriers) yang ada dalam sistem ekonomi agar modal secara bebas dapat bergerak secara efisien. Hal tersebut berangkat dari asumsi bahwa pergerakan modal yang terhambat merupakan penyebab dari terjadinya kelesuan ekonomi suatu negara.

Lalu bagaimana kaitannya dengan pasar tenaga kerja (workforce’s market), khususnya pasar tenaga kerja Indonesia? Hal tersebut dapat dilihat bagaimana proses deregulasi juga ikut menyentuh struktur pasar tenaga kerja domestik. Struktur pasar tenaga kerja harus memiliki tingkat flesibilitas yang tinggi agar tidak menghambat pergerakan modal (Moody, 1997). Fleksibilitas pasar tenaga kerja tersebut dapat dilihat dari banyaknya kebutuhan akan penurunan angka pesangon pasca PHK, menjamurnya kebijakan tentang kerja kontrak, internasionalisasi pasar tenaga kerja dimana setiap orang di dunia diperkenankan untuk masuk kenegara manapun, dsb. Semuanya ini berangkat dari premis atas nama efisiensi modal, maka semua hal yang mendukung premis tersebut harus dilakukan. Pada akhirnya fleksibilitas tersebut menurunkan posisi Pekerja sebagai hanya sebatas faktor produksi yang dapat dengan seenaknya dipecat dan digantikan dengan yang lainnya. dan kans untuk mempertahankan pekerjaan menjadi hal yang tidak relevan lagi.



Tripartit: Optimisme?

Seperti yang saya kemukakan sebelumnya, lembaga tripartit merupakan upaya rezim Yudhoyono-Kalla untuk memperbaiki iklim investasi namun pada sisi yang lain ikut memperhatikan kepentingan Pekerja(?). Menurut data Bank Dunia (2005) Indonesia termasuk negara yang tidak lagi menarik iklim investasinya karena salah satu indikatornya dapat dilihat dari besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk membayar pesangon apa bila melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Dan ini tentu saja dapat berdampak buruk bagi modal untuk melakukan efisiensi sebagaimana yang telah disepakati sebelumnya. Hal inilah yang memaksa para pemodal, khususnya pemodal asing, menginginkan regulasi yang tidak lagi mengganggu efisiensi modal tersebut. dan hal tersebut hanya dapat dipenuhi apabila struktur pasar tenaga kerja suatu negara cukup fleksibel.

Hal inilah yang menyebabkan mengapa Pemerintah menyatakan bahwa lembaga tripartit ini harus berada didalam koridor “iklim untuk berinvestasi yang menarik bagi pemodal”. Hal tersebut tentu saja dapat dipahami bahwa segala bentuk diskursus yang bergerak didalam forum tripartit tersebut haruslah atas nama “iklim investasi” (baca: fleksibilitas pasar tenaga kerja). Dari sinilah saya berpendapat bahwa lembaga tripartit tidak serta merta memberikan harapan yang menjanjikan bagi peningkatan kesejahteraan Pekerja. Hal tersebut dikarenakan dengan melihat proses deliberasi yang terjadi dalam forum tripartit tidak lagi bersandarkan pada landasan yang universal karena mustahil sekali dengan asumsi fleksibilitas pasar tenaga kerja, yang dijadikan asumsi secara apriori sebagai koridor forum tripartit, Pekerja mempunyai posisi tawar yang seimbang dengan pihak-pihak lain yang terlibat didalam forum. Bahkan pada titik tertentu, diskursus yang terjadi didalam forum tersebut, pihak Pekerja akan terjebak pada perebutan konsensi-konsensi yang bersifat “remeh-temeh” yang tentu saja konsensi tersebut tidak memiliki relevansi langsung bagi kepentingan Pekerja secara keseluruhan. Darisini saya menarik kesimpulan, lembaga triparit ini jika tidak dikawal secara konsisten baik oleh kalangan Pekerja maupun dari kita sendiri yang peduli, dapat menjadi pisau bermata dua yang alih-alih menjadi ruang untuk mengakomodasi kepentingan Pekerja melalui mekanisme demokratis, ruang itu malahan akan bertendensi sangat kuat untuk menjadi perangkap yang sempurna dalam rangka mematikan secara sistematis aspirasi Pekerja yang telah dibawa dengan masif melalui demonstrasi-demonstrasi di jalan.

Ditulis Oleh Muhammad Ridha
Monday, 04 June 2007

This entry was posted at 11.34 . You can follow any responses to this entry through the comments feed .

0 komentar

Posting Komentar

Daftar Posting F-SP.LEM Kab.Tangerang