Nasib Buruh dan Politik Perburuhan

Posted by F.SP.LEM - K.SPSI KAB.TANGERANG

Refleksi Hari Buruh Internasional 1 Mei:
Nasib Buruh dan Politik Perburuhan
Oleh: Edy Firmansyah

Wajah buram masih menyelimuti kehidupan buruh Indonesia. Aksi unjuk rasa besar-besaran tiap memperingati hari Buruh Internasional 1 Mei adalah sebuah isyarat betapa beban kaum buruh kian hari kian berat.

Kenaikan harga kebutuhan pokok, imbas melambungnya harga minyak mentah dunia, membuat posisi buruh kian kritis. Terutama buruh pabrik yang hanya mengandalkan gaji sesuai dengan upah minimum setempat. Pasalnya, pekerjaan yang dijalaninya tetap saja tidak bisa memenuhi apa yang menjadi kebutuhan hidupnya, apalagi sense of identity-nya.


Akibatnya bisa ditebak, kaum buruh tetap berkubang dalam lumpur kemiskinan. Benar memang jika berpegang pada ukuran garis kemiskinan BPS tahun 2005 yang mematok Rp 135.000 per kapita per bulan, buruh Indonesia dengan upah rata-rata Rp 700.000-Rp 800.000 sekarang ini memang tidak termasuk miskin. Namun, karena setiap buruh menanggung rata-rata empat anggota keluarga (termasuk dirinya sendiri), kalaupun tidak di bawah garis kemiskinan, mereka tetap miskin.

Makanya jangan heran jika buruh hidup di perkampungan kumuh dengan standar kesehatan di bawah rata-rata, dengan anak-anak putus sekolah adalah fenomena biasa. Hal tersebut dilakukan hanya untuk menyeimbangkan antara pendapatan yang minim dengan biaya kebutuhan hidup yang kian melambung tinggi.

Parahnya lagi, perusahaan seakan tak mau peduli dengan kehidupan sosial-ekonomi kaum buruh. Perusahaan masih kerap menggunakan politik buruh murah yang diterapkan di masa orde baru. Artinya, demi kepentingan pembangunan atau pertumbuhan ekonomi, buruh dianggap semata-mata sebagai faktor produksi, sebagaimana halnya modal. Politik tersebut dijalankan bukannya perusahaan tak punya cukup uang untuk membayar para buruh. Melainkan untuk menarik investasi asing ke sektor manufaktur di Indonesia.

Hal ini bisa dilihat pada pembahasan mengenai kebutuhan hidup layak (KHL)—sebagai syarat menentukan besaran UMK—antara buruh dan pengusaha yang selalu mengalami jalan buntu. Pasalnya buruh menginkan KHL tinggi sementara pengusaha justru sebaliknya.

Di Surabaya misalnya, usulan upah minimum Kota Surabaya 2008 yang semestinya disampaikan ke gubernur pada 12 september lalu ternyata molor. Ini karena belum ada kesepakatan antara dua belah pihak mengenai KHL. Buruh menghendaki paket biaya kebutuhan air dan listrik sebesar Rp. 25.360. Sedangkan pengusaha ngotot bertahan pada nominal Rp. 21. 900 untuk biaya kebutuhan air dan listrik (Kompas Edisi Jatim, 20/9). Sebenarnya tak hanya Surabaya saja yang mengalami deadlock mengenai pembahasan KHL. Daerah lain seperti Sidoarjo, Mojokerto, dan Gresik ternyata juga belum mengusulkan UMK ke Propinsi karena mengalami hal serupa.

Ini artinya belum ada kerendahan hati dari pihak pengusaha untuk memberikan sekedar peningkatan biaya hidup bagi kaum buruh. Para pengusaha masih menjunjung tinggi logika ekonomi bahwa; modal sekicil-kecilnya untuk laba sebesar-besarnya. Dengan kata lain bahwa logika humanistik telah mati ditikam dari belakang oleh logika ekonomi.

Padahal kita tahu perusahaan sebesar apapun tak akan pernah bisa bergerak maju tanpa peran serta para buruh. Buruh-lah tulang punggung setiap laju industri di belahan dunia manapun. Bahkan dengan sinis Lenin pernah menyindir bahwa modal setinggi gunung tak akan memiliki arti apa-apa tanpa sentuhan para buruh. Karena di tangan buruh modal tersebut bisa berlipat ganda.

Tapi apa mau dikata, potret umum buruh kita masih termarginalisasi, tertindas, tidak berdaya, tidak memiliki kekuatan tawar, dan rentan dimanfaatkan sebagai obyek kepentingan politik. Dengan lain kata, buruh dianggap bodoh, dibuat tetap bodoh, dan dibodoh-bodohin.

Makanya tidak heran jika demonstrasi—sebagai satu-satunya senjata kaum buruh—kerap dilancarkan sebagai upaya memperbaiki nasib. Tapi apa hasilnya? Selain menanggapi ’dingin’ permintaan para buruh, perusahaan juga menuding para buruh sebagai biang kerok kerugian yang mencapai miliaran rupiah akibat demonstrasi dan mogok kerja Sebuah sikap klasik yang dilancarkan perusahaan setiap merespon demonstrasi buruh dimanapun.

Sebenarnya nasib buruh tak terus mengalami keterpurukan seandainya pemerintah mau mengambil kebijakan yang prorakyat seperti yang dilakukan Bolivia atau Venezuela. Kedua negara amerika Latin itu dengan cukup berani melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan-perusahaan asing. Kemudian pengelolaannya diserahkan pada para buruh. Sehingga pengaturan upah dilihat dengan seberapa berat beban kerja, bukan dengan seberapa banyak saham yang ditanam.

Selain itu pemerintah juga bisa mengeluarkan kebijakan yang adil antara buruh dan pengusaha untuk menengahi konflik diantara mereka. Yakni sebuah kebijakan politik yang mengharuskan keduanya saling berbagi. yakni pengusaha harus berbagi penderitaan dengan kaum miskin maupun berbagi harta. Sehingga buruh bisa hidup layak baik sandang pangan maupun papan (baca; perumahan).

Dengan demikian ketakutan pada demonstrasi buruh yang berujung pada anarkisme dan penjarahan tak akan terjadi. Disamping itu kaum buruh akan terbangun rasa percaya dirinya untuk terus meningkatkan produksi karena kerjanya dibayar bukan berdasarkan nilai lebih, tetapi berdasarkan prestasi yang dihasilkan.

Tapi kenyataan yang terjadi selama ini adalah kesejahteraan buruh di negeri ini memang tak akan diberikan cuma-cuma, selama berada ditangan para penguasa korup dan pemilik modal bebal. Bahkan meski keuntungan yang mereka peroleh sudah setinggi gunung. Benarkah?

TENTANG PENULIS
*Edy Firmansyah adalah Peneliti pada IRSOD ( Institute of Reaseach Social Politic and Democracy) Jakarta . Alumnus Kesejahteraan Sosial Universitas Jember. Pengelola Sanggar Bermain Kata (SBK).


This entry was posted at 13.44 . You can follow any responses to this entry through the comments feed .

1 komentar

Jakarta, Aktual.com – Sebanyak 2.500 buruh dari Banten mulai menyemut di Patung Kuda, Medan Merdeka Utara.

Serikat Pekerja Nasional (SPN) dari Banten, menuntut perbaikan ekonomi kepada Pemerintah di tengah kondisi ekonomi yang sulit.

“Kita menuntut perbaikan gaji. Serta masalah pensiun,” kata Billy (46) saat memimpin rombongan buruh berjalan menuju Istana, Selasa (1/9).

BACA SELENGKAPNYA DI

Bergerak Geruduk Istana, 2.500 Buruh Banten Tolak Pekerja Asing

1 September 2015 pukul 14.13

Posting Komentar

Daftar Posting F-SP.LEM Kab.Tangerang