Melihat Praktek Nyata Sistem Kerja Kontrak-Outsourcing di kawasan industri

Posted by F.SP.LEM - K.SPSI KAB.TANGERANG

(Diambil dari buletin SADAR)


Sekilas kerja kontrak-outsourcing dalam praktek

Tidak dipungkiri sistem kerja kontrak (PKWT-Perjanjian Kerja Waktu Tertentu) dan outsourcing (pemberian pekerjaan ke pihak lain/perusahaan-sub kontrak) sudah semakin marak, bahkan sudah mendominasi sistem kerja dalam industri/perusahaan saat ini, beberapa data menunjukkan angka 60-70% jumlah pekerja adalah pekerja kontrak. Banyak tulisan intelektual mendukung kebijakan sistem kerja kontrak-outsourcing atau sering disebut pasar tenaga kerja yang fleksibel, dengan berbagai dalih tanpa melihat akibat yang dialami oleh kaum buruh dan rakyat secara umum.

Argumentasi para intelektual pendukung rezim penguasa dan pengusaha ini adalah untuk membuka lapangan kerja seluas-luasnya dengan menerapkan sistem kerja kontrak dan outsourcing, karena akan mengurangi pengangguran dengan pergantian waktu kerja.
Argumentasi para intelektual tersebut tenyata tidak terbukti, pengangguran tidak terserap oleh industri, bahkan juga tidak ada perkembangan pertumbuhan industri dalam dekade 2 tahun ini. Yang ada hanyalah relokasi lokal industri dalam negeri, yang umum dari daerah padat industri yang upahnya lebih tinggi ke daerah yang upahnya lebih rendah atau ke daerah pinggiran. Ini bisa kita lihat statistik berkurangnya jumlah industri di Jakarta, Tangerang dan Bandung serta berkembangnya industri di Sukabumi, Subang, Majalengka, dan kabupaten Semarang. Fakta lainnya kita disuguhkan pada tingkat pengangguran yang terus meningkat, artinya argumentasi intelektual akan terbukanya lapangan pekerjaan bagi pengangguran menjadi terbantahkan.

Dalam kehidupan keseharian di perusahaan-perusahaan atau kawasan industri, praktek hubungan industrial berkenaan dengan pekerja/buruh kontrak, bisa kita dapatkan kondisi sebagai berikut :

Pertama, perjanjian kerja dibuat sepihak atau tanpa proses kesepakatan, tidak sesuai dengan UUK (Undang Undang Ketenagakerjaan) Nomor 13/2003 pasal 52 huruf (a) dan (c).

Kedua, perjanjian kerja hanya dibuat tidak rangkap dan pekerja tidak diberi tahu serta! isi perjanjian kerja tidak lengkap sesuai UUK 13 pasal 54 aya! t 1, 2 d an 3.

Ketiga, pekerja kontrak yang diberi status harian kantor, pekerja harian lepas (PHL) atau ada beberapa sebutan lainnya diberi upah antara Rp. 10.000,- 15.000,- per hari dengan waktu kerja antara 8 jam sampai 12 jam.

Keempat, pekerja kontrak mayoritas tidak diberikan fasilitas kesehatan, uang makan, uang lembur.

Kelima, pekerja kontrak/PKWT selama 2 tahun tidak boleh nikah dan hamil bagi pekerja perempuan

Keenam, diharuskannya membuat syarat-syarat baru bagi pekerja saat memperpnjang kontrak/PKWT.

Ketujuh, adanya perbedaan perjanjian antara pekerja laki-laki dan perempuan saat perpanjangan, pekerja laki-laki diberi pekerjaan-pekerjaan yang tidak begitu berat tanggung jawab p! roduksinya serta diperpanjang tanpa syarat-syarat baru.

Kedepalan, adanya pemberian THR dan hak-hak lainnya yang diatur Undang-Undang kepada Pekerja kontrak/PKWT adalah tidak sesuai atau jauh di bawah standar aturan.

Di lain hal, adanya penerapan sistem kontrak telah membuat suasana kerja tidak tenang, ini karena adanya rasa tidak nyaman bagi pekerjaan dan adanya perbedaan-perbedaan antara pekerja tetap dan kontrak sehingga membuat resah, kondisi ini tentu disadari sepenuhnya oleh perusahaan akan berimbas pada hasil kerja atau produktivitas perusahaan baik kualitas dan kuantitas.

Nah, sebenarnya secara praktek sistem kerja kontrak-outsourcing bukanlah jawaban atas krisis ekonomi yang terus melanda negeri ini, karena jawaban tersebut terbukti tidak bisa mengentaskan pelaku ekonomi dan rakyat terbebas dari krisis. Sistem kontrak-outsourcing hanya membesarkan pemodal besar dan membenamkan pemodal kecil serta kaum buruh yang memiliki daya beli rendah akibat sistem ini.

Hukum dan prakteknya

Secara prinsip di dalam Undang Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003 (UUK 13/2003) telah mengatur pekerjaan dan waktu serta kegiatan yang membolehkan sistem kerja kontrak [dalam bahasa UUK 13/2003 adalah Perjanjian kerja waktu tertentu/PKWT], yakni dalam pasal 56, 57, 58, 59 dan 60, di antaranya sebagai berikut :

Pasal 58 ayat 1: Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT/Kontrak) Tidak boleh adanya masa percobaan;

Pasal 59 ayat 1: Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT/Kontrak) hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu yaitu: (a) Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya, (b) Pekerjaan yang diperkirakan selesai dalam waktu tidak lama,paling lama 3 tahun, (c) Pekerjaan yang bersifat musiman, (d) Pekerjaan yang mengerjakan produk baru, kegiatan baru, percobaan atau penjajakan;

Pasal 59 ayat 2: Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap;

Pasal 59 ayat 6: Perjanjian waktu tertentu (PKWT/kontrak) yang tidak memenuhi ketentuan pasal 59 ayat (1), (2), (4), (5) dan (6) maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu (tetap).

Ditinjau dari dasar hukum ini, praktek sistem kerja kontrak-outsourcing telah melanggar dan sudah seharusnya diberikan sanksi hukuman yang tegas kepada pengusaha atau setidaknya adalah mengembalikan sistem kerja kepada pekerja kontrak menjadi pekerja tetap.

Melihat celah perlawanan yang sederhana

Secara sadar dan penuh harapan, pekerja kontrak bila ditanya apa yang diinginkan dan diharap dari hubungan kerja ini akan menjawab “ Perubahan status kerja yang asalnya pekerja/buruh kontrak, menjadi pekerja/buruh tetap. Untuk semua jenis pekerjaan dan masa kerja sesuai dengan tanggal masuk kerja “.

Lalu bagaimana cara perjuangannya?

Kendala paling besar adalah ketakutan akan dipecat secara sepihak dan tanpa pesangon bagi kaum buruh yang status kerjanya kontrak. Namun dari beberapa diskusi ternyata ada satu celah yang bisa diperjuangkan secara maksimal dan yang belum pernah dicoba oleh kaum buruh kita untuk mengajukan kepada perusahaan dengan kajian hukum dan prakteknya serta dinegosiasikan. Karena secara praktek sistem kerja kontrak-outsourcing sangat bertentangan dengan hukum yang memberikan legitimasi, yakni UUK 13/2003. Tentu tidak mudah, syarat yang harus dipenuhi yakni mayoritas buruh kontrak (paling tidak 75%) ikut mendukung dalam pengajuan tersebut.

Pilihan untuk 75% adalah agar pengusaha berpikir ulang untuk memecat sebanyak orang yang ikut karena pengusaha harus mendapatkan pekerja baru dengan kualitas yang sama. Cara mendukung sangat mudah yakni dengan membuat pengajuan kepada perusahaan dengan argumentasi hukum dan praktek seperti di atas serta diedarkan kepada buruh kontrak untuk ditandatangani serta dibuat grup diskusi tentang hal tersebut. Surat ini bisa dilayangkan kepada semua instansi yang berkaitan dengan ketenagakerjaan.

Bila ini bisa dilakukan dengan serentak oleh kaum buruh kontrak di perusahaan atau kawasan industri, maka tidak mustahil sistem ini bisa berubah. Bila negosiasi tidak terjadi, maka kekuatan yang besar tersebut bisa melakukan mogok. Pekerjaan di tingkat wilayah atau perusahaan ini juga harus didukung oleh serikat pekerja/serikat buruh tingkat nasional untuk merubah sistem kerja yang merugikan rakyat.

Usaha ini sedang dilakukan oleh kawan-kawan kontrak dengan membangun organisasi yakni PBKM-I (Perjuangan Buruh Kontrak Menggugat-Indonesia) dengan terus melakukan diskusi dan penggalangan tanda tangan dukungan di dua pabrik garmen untuk merubah sistem kerja kontrak menjadi tetap.

Ditulis Oleh Bejo*
Friday, 25 July 2008

*Penulis adalah anggota PBKMI (Perjuangan Buruh Kontrak Menggugat Indonesia) di wilayah industri Majalaya dan anggota PRP Komite Kota Bandung Raya


This entry was posted at 11.21 . You can follow any responses to this entry through the comments feed .

0 komentar

Posting Komentar

Daftar Posting F-SP.LEM Kab.Tangerang