Uang Makan Pun Terpaksa Diirit

Posted by F.SP.LEM - K.SPSI KAB.TANGERANG

Sumber : SINAR HARAPAN
09 - JUNI - 2008

JAKARTA – Nasib buruh di Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi kini kian sulit saja. Keputusan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) pada 24 Mei 2008 menjadi biang kerok persoalan itu.
Ditambah dengan sistem kerja yang belum becus, kondisi itu menambah deretan panjang penderitaan bagi buruh. Situasi itu kian menjadi perkara terlebih pada buruh yang memiliki penghasilan pas-pasan.
Sebut saja Rio (bukan nama sebenarnya). Buruh yang bekerja di Kawasan Industri Pulo Gadung, Jakarta Timur sebagai sortir rantai motor ini harus lebih berhemat. Upahnya sebagai buruh yang hanya Rp 180.000 per minggu memang membuatnya semakin tak bisa bergerak leluasa. Maklum saja kondisi harga BBM yang tidak naik saja, kesehariannya Rio makan dengan menu alakadarnya. Terlebih dengan harga BBM yang berdampak ke banyak sektor, tentu saja ia harus semakin mengencangkan ikat pinggang.


“Uang gaji saya mah dipakai untuk pulang pergi ke kantor setiap hari kerja sudah habis,” tuturnya.
Laki-laki yang masih bujang ini mengaku sulit bagi dirinya untuk menabung lantaran penghasilannya yang terbatas. “Setelah harga BBM naik makan siang yang biasanya Rp 5.000 sekarang naik jadi Rp 6.000 belum lagi rokok,” katanya.
Sebagai pegawai rendahan Rio hanya bisa menyikapinya dengan sabar. Baginya, kondisi kenaikan harga BBM memang bukan hanya dituai oleh dirinya. Hanya saja yang kian membuat terhimpit adalah kondisinya sebagai pekerja yang tidak dihargai kinerjanya. Sudah setahun lebih ia bekerja, namun kejelasan nasibnya tidak juga ada.
Rio bekerja untuk PT FSCM, mulai pukul 07.00 hingga 16.00 WIB. Dia bekerja di perusahaan yang memproduksi rantai motor tanpa menyerahkan keterangan diri, ia masuk berdasarkan koneksi.
Namun, sebagai karyawan yang terhitung setahun mengabdi tentunya ia penuh harap bisa mendapatkan kejelasan status kerja. “Tapi sepertinya sulit, teman saya yang sudah empat tahun kerja saja bertahan dengan kondisi yang sama, tidak jelas nasibnya,” ungkapnya.
Setiap hari Rio harus menyortir rantai seberat 40 kilogram, lantaran perusahaannya menargetkan produksi 2 ton sehari. Pengakuannya baru-baru ini, Rio dan teman-temannya sempat bertemu dengan atasannya setelah kenaikan harga BBM. Atasannya mengatakan bisa dengan mudah menggantikan karyawan yang tidak mau mengikuti aturan.
“Atasan saya bilang, akibat kenaikan harga BBM tidak akan ada kenaikan upah dan kenaikan status kerja, kalau masih mau kerja silakan, kalau nggak mau perusahaan bisa cari orang lain lagi,” tirunya.
Hal itu menurut Rio dipicu dari bahan baku yang juga mengalami kenaikan akibat BBM. “Kami terpaksa mengerti, kalau pihak perusahaan sedang mengalami kesulitan akan harga bahan baku yang naik,” paparnya.
Kesulitan hidup juga dialami Agus (35) yang bekerja di kawasan industri sebagai teknisi AC. Upah kerjanya yang baru-baru ini naik menjadi Rp 970.000 tetap saja belum mencukupi kehidupannya. “Saya belum bisa ngontrak, masih tinggal di pondok mertua indah,” ungkapnya siang itu usai makan di warung nasi.
Agus yang telah enam tahun bekerja mengaku belum mendapatkan kejelasan status kerja. “Nggak tahu kapan diangkat jadi karyawan tetap, padahal sudah enam tahun kerja,” katanya.
Laki-laki yang memiliki tiga anak ini tidak dapat menutupi kegalauannya, lantaran kenaikan harga BBM membuat hidupnya kian merana. “Dengan gaji segitu mana bisa menutupi kebutuhan, untungnya kalau ada yang butuh jasa memperbaiki AC suka ada yang memberi tip,” ceritanya.
Saat ini, Agus hanya bisa menjalani kerjanya dengan baik, sekaligus berharap ada kejelasan status. Karena sebagai kepala keluarga, ia harus menyekolahkan anak-anaknya dengan baik.

Dihantui PHK
Kegalauan juga melanda Erli (38). Janda beranak dua ini gelisah ketika hendak berangkat menuju perusahaan konveksi (PT MB-red) tempatnya bekerja. Maklum, setelah kenaikan harga BBM, beredar isu tak sedap di lingkungan perusahaan tempatnya bekerja. Bahwa dalam waktu dekat, akan ada pengurangan karyawan secara besar-besaran.
Perusahaan sudah tidak mampu lagi menggaji karyawan yang jumlahnya mencapai 300 orang, menyusul membengkaknya biaya produksi akibat kenaikan harga BBM. Alhasil, isu yang belum jelas asal-usul dan kebenarannya itu pun menjadi perbincangan hangat di kalangan karyawan.
Erli merupakan satu dari 300 karyawan PT MB yang saat ini tengah diliputi rasa cemas akan terkena imbas dari kebijakan perusahaan itu. Betapa tidak, sebagai single parent Erli kini memiliki tanggung jawab ganda bagi dua anaknya yang masih kecil. Selain menjadi ibu, Erli juga harus bertindak sebagai bapak untuk menafkahi anak-anaknya.
Dia mengatakan, bila benar perusahaan akan melakukan pengurangan karyawan secara besar-besaran, maka harapannya cuma satu yakni dirinya tidak termasuk di dalamnya. “Karena bila saya di-PHK, bagaimana dengan nasib dan masa depan anak-anak saya nanti,“ ujar perempuan paruh baya yang kini menetap bersama ibunya di Kampung Wates, Kelurahan Pakulonan, Kecamatan Serpong, Kabupaten Tangerang itu.
Dia mengakui sebagai buruh kontrak di PT MB, penghasilannya tidaklah seberapa. Dalam dua minggu, dia hanya menerima upah sebesar Rp 250.000 dengan tambahan upah lembur Rp 1.500 per jam. Setiap harinya Erli bisa menerima jatah lembur selama dua jam. Meski demikian, Erli mengaku penghasilan itu sudah lebih dari cukup untuk membiayai kebutuhan makan dan sekolah dua anaknya.
“Gaji saya hanya untuk makan dan membiayai sekolah anak-anak saja. Untuk tempat tinggal, saya tidak pusing karena bisa nebeng bersama orang tua. Tapi bila tidak bekerja, tentunya saya dan anak-anak hanya akan menambah beban orang tua saja,’’ ujarnya.
Keresahan dan kesulitan pascakenaikan harga BBM kiranya tidak hanya membebani Erli seorang, namun juga ratusan bahkan ribuan buruh lainnya yang bekerja di perusahaan-perusahaan kecil di Tangerang. Karena umumnya, perusahaan kecil lebih rentan gulung tikar bila dibandingkan dengan perusahaan pemilik modal besar.
Seperti yang diakui Fitri (24), salah seorang karyawan kafe di kawasan Benton Junction, Lippo Karawaci, Kabupaten Tangerang. Kafe tempatnya bekerja mulai sepi pengunjung sejak kenaikan harga BBM. Jumlah pengunjung yang datang sejak sepekan terakhir bahkan bisa dihitung dengan jari.
“Saya juga mulai khawatir dengan kondisi kafe ini. Bila kondisinya begini terus, bisa-bisa kafe ini nantinya bangkrut. Itu artinya, saya juga akan kehilangan pekerjaan. Mau kerja di mana lagi, sekarang mencari pekerjaan kan cukup sulit,“ ujar dara asal Jawa Tengah yang kini menempati rumah kontrakan di kawasan Perumahan Kelapa Dua, Kabupaten Tangerang itu.
Menjawab keresahan buruh sekaligus mengantisipasi membludaknya angka pengangguran, Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Tangerang mengimbau seluruh perusahaan di wilayahnya untuk tidak melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) menyusul kenaikan harga BBM.
“Kami memahami bahwa kenaikan harga BBM tentu berdampak pada tingginya biaya produksi. Namun, kami mengimbau pengusaha mencari solusi lain tanpa harus mengurangi jumlah pekerja,” ujar Hasdanil, Kepala Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kabupaten Tangerang.
Dari data yang dilansir Disnaker Kabupaten Tangerang, total perusahaan yang kini beroperasi di Kabupaten Tangerang sebanyak 4.300. Sepanjang 2007 lalu, tercatat sebanyak 15.447 buruh di-PHK akibat perusahaan bangkrut, dan 1.888 buruh di-PHK akibat pelanggaran dan kesalahan kerja. Sementara itu, hingga April 2008, tercatat sebanyak 1.300 buruh di-PHK. Umumnya PHK dipicu pelanggaran kerja dan perusahaan bangkrut.
Dia menyebutkan, mayoritas perusahaan yang gulung tikar sepanjang tahun 2007 dan 2008 ini adalah yang bergerak di bidang garmen. Sedangkan PHK akibat pelanggaran kerja umumnya dipicu oleh protes buruh terhadap kebijakan perusahaan.
Guna mencari solusi atas kemungkinan terjadinya PHK massal pascakenaikan harga BBM yang berdampak pada meningkatnya angka pengangguran, Disnaker Kabupaten Tangerang dalam waktu dekat akan mengundang pihak pengusaha dan Serikat Pekerja untuk duduk dan bicara bersama.
Kondisi buruh di Bekasi juga tak jauh berbeda. Murniati (29), karyawati pabrik garmen PT SPK di Bekasi Timur Kota Bekasi, mengaku masa kerjanya sudah delapan tahun di perusahaan itu. Gajinya hanya sesuai upah minimum kota (UMK) Bekasi Rp 985.000 per bulan. Uang itu digunakan buat kebutuhan hidup sehari-hari.
Murniati yang masih gadis itu harus mengontrak rumah secara bersama-sama dengan empat temannya. Jadi, uang sewa rumah Rp 400.000 per bulan dapat dibagi lima. Kalau sendirian mengontrak rumah petak, jelas tidak mampu.
Saat ini, katanya, ia harus mengurangi pengeluaran. Kalau pagi hari, ia hanya sarapan kue saja. Jadi, makan hanya siang dan malam hari. Sekali makan saja di warung, saat ini paling murah Rp 8.000. Kalau makan dua kali, sudah Rp 16.000, belum lagi uang kontrak rumah dan bayar listrik, termasuk keperluan lainnya. Beruntung rumah kontrakan dekat dengan perusahaan sehingga dirinya tidak memerlukan ongkos.
Buruh di Bogor juga merasakan dampak kenaikan harga BBM. Kondisi itu ditambah lagi dengan meroketnya harga sembilan bahan pokok (sembako). Sejumlah buruh malah terpaksa meminjam uang ke rentenir untuk menutupi kebutuhan anak sekolah.
Icih, buruh garmen di Kota Bogor menuturkan, meskipun kenaikan harga BBM baru terjadi, tapi dampaknya terhadap nasib buruh langsung terasa. Perempuan yang sudah dua tahun ditinggal suaminya ini harus banting tulang menyekolahkan anak semata wayangnya. Bahkan, untuk melanjutkan pendidikan putranya ke tingkat SD, perempuan berkulit putih ini terpaksa meminjam uang.
“Gaji yang saya dapatkan tidak mampu lagi menutupi kebutuhan keluarga. Anak saya tahun ini masuk SD, untuk uang pembangunan dan seragam harus disediakan ratusan ribu,’’ jelas Icih.
Keluhan serupa dialami Fitri, buruh pabrik pakaian jadi di Dramaga, Kabupaten Bogor. Walaupun masih berstatus gadis, wanita ini harus menutupi kebutuhan keluarganya. Hasil sebagai pekerja pabrik nyaris tidak mampu menutupi kebutuhan hidup. Fitri terpaksa kerja lembur untuk menambah penghasilan.
Ketua DPC Serikat Pekerja Nasional (SPN) Kabupaten Bogor, Iwan Kusmawan, mengakui kenaikan harga bahan bakar yang berdampak pada kenaikan harga sembako serta tarif transportasi dan kebutuhan lainnya membuat nasib buruh semakin memprihatinkan.

Pengusaha Kena Imbas
Untuk itu, ia berharap antara buruh dan perusahaan melakukan kesepakatan dalam menyelesaikan persoalan yang dihadapi buruh dan perusahaan pascakenaikan harga BBM. “Hubungan yang baik antara bipartit (pekerja/serikat dengan perusahaan-red) sangat dibutuhkan dalam menanggulangi persoalan tersebut,’’ ujar Iwan, Sabtu (7/6).
Mengenai adanya kemungkinan pemutusan hubungan kerja, Ketua DPC SPN itu mengatakan harus dihindari. Sebaiknya dalam mengatasi persoalan yang dihadapi buruh maupun perusahaan diselesaikan dengan cara musyawarah.
Di tempat terpisah, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Sosialisasi Kota Bogor, Janny Permadhi mengatakan, pihak pengusaha harus mencari alternatif lain di samping melakukan PHK. Kebijakan PHK dinilai bukanlah satu-satunya solusi terbaik agar bisa tetap menjalankan usahanya.
Dampak kenaikan harga BBM juga memukul pengusaha. Sekarang, biaya produksi naik sekitar 30 persen. Solar untuk sektor industri saat ini Rp 10.000 per liter. Semua yang berkaitan dengan bahan produksi, harganya naik melambung. Kesulitan itu ditambah lagi seringnya aliran listrik di Bekasi padam, membuat proses produksi terganggu, bahkan terhenti total.
Setidaknya itulah yang diungkapkan pengurus Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kota Bekasi, Arifin Dimyati kepada SH. Ia menyatakan, sekarang semua pengusaha melakukan efisiensi di segala sektor. Kalau tidak dilakukan efisiensi, perusahaan bangkrut. Kalau efisiensi itu ternyata tidak menolong kelangsungan perusahaan, penguasaha akan melakukan langkah pengurangan produksi.
“Jika terjadi pengurangan produksi, tentu akan terjadi pengurangan tenaga kerja. Itu langkah yang ketiga dilakukan. Ternyata jika tiga langkah itu juga tidak membantu kelangsungan perusahaan, tentu pengusaha akan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) kepada karyawan secara bertahap,” katanya.
Nah, kalau sudah begini, siapa lagi yang akan menolong kaum buruh? Karena tidak hanya pengusaha yang buat buruh pusing tujuh keliling sehingga harus irit uang makan, pemerintah juga ikut andil dengan menghantam dengan kenaikan harga BBM.

This entry was posted at 14.07 . You can follow any responses to this entry through the comments feed .

0 komentar

Posting Komentar

Daftar Posting F-SP.LEM Kab.Tangerang