PERANG BINTANG DAN GERILYA POLITIK

Posted by F.SP.LEM - K.SPSI KAB.TANGERANG

Ritualitas politik elektoral 2009 tinggal menghitung bulan untuk pelaksanaannya. Dengan peserta pemilu yang telah disahkan KPU pada 7 Juli 2008 berjumlah 34 parpol. Genderang perang ngecap dimulai, pemain sulap dadakan berhamburan menjadi hiburan di tengah sedih duka dan rintih rakyat dalam menghadapi ekonomi yang maha sulit. Karung-karung disiapkan untuk mewadahi “kucing dan tikus” untuk dijadikan barang dagangan. Lalu apa yang didapat oleh rakyat?

Sebagian kecil rakyat yang bergerak di bidang konveksi atau garment dan sablon, akan mendapatkan kenikmatan sesaat dari limpahan order partai politk. Ini dalam ukuran sangat kecil sekali dari ratusan juta rakyat Indonesia, pun dengan penuh persaingan dan degup jantung yang keras menunggu janji pembayaran secara penuh ditepati. Mungkin hanya ini yang didapat oleh sebagian kecil rakyat dari pesta demokrasi negeri ini dari kerja nyata, selebihnya hanyalah janji-janji politik yang membumbungkan mimpi tanpa kenyataan dari partai politik yang didapat oleh rakyat.

Partai lama masih berkuasa

Peta partai politik yang bertarung dalam perebutan kekuasaan lewat jalur pemilu semakin semrawut dan sangat membingungkan rakyat. Maka tidak heran bila jumlah golput semakin membesar dengan angka rata-rata 45% di setiap pilkada. Bahwa itu hanya bagian kecil dari alasan rakyat untuk golput, karena cukup banyak argumentasi mengapa memilih golput. Bahkan saat sekarang di Bandung sedang digalang pendataan pemilih golput, suatu usaha untuk memberikan tekanan kepada para politisi dan rezim penguasa bahwa mereka tidak legitimate. Legitimasi penguasa hanya pada ranah undang-undang yang dibuat oleh perwakilan parpol lama yang berkuasa di DPR. Sementara mayoritas golput lainnya memberikan argumentasi lebih dalam bahwa Paket UU Pemilu tidak memberikan ruang kepada rakyat dan kaum perempuan untuk bisa maju menjadi kontestan, bukan sekedar pemilih saja dan UU pemilu hanya memberikan kelanggengan kepada parpol lama.

Pemilu hanyalah salah satu ukuran adanya demokrasi dalam sebuah negara. Pemilu Indonesia yang mengadopsi pemilu liberal, maka mengabaikan adanya tingkat partisipasi politik rakyat. Sehingga pemilu hanyalah mengantarkan partai dan elit politik pada tampuk kekuasaan bukan sebagai pemimpin negara yang membawa rakyat keluar dari segala kesulitan. Maka tak heran bila tingkat partisipasi paling besar rakyat dalam pemilu ada di negara-negara komunis atau sosialis.

Dalam pesta elektoral 2009, ada dua medan pertarungan yang akan ramai diperebutkan parpol, yakni pemilu parlemen serta pilpres dan satu medan pertarungan untuk jalur non partai, yakni DPD. Jalur DPD boleh dibilang hanyalah penggembira, karena kekuatan politiknya kecil. Pada jalur parlemen, pertarungan antar parpol akan sangat sengit.

Menurut prediksi beberapa lembaga survey menyatakan bahwa pemenang pemilu parlemen 2009 masih akan dikuasai oleh tujuh parpol pemenang pemilu 2004. Yakni Golkar, PDIP, PPP, PKB, PKS, PAN dan Partai Demokrat. Parpol lainnya kemungkinan akan menyodok tujuh besar masih dimungkinkan dengan menurunnya citra PD sebagai pendukung setia rezim SBY-JK. Parpol baru yang diprediksi mampu merangsek ke papan atas tersebut adalah Partai Hanura.

Prediksi lembaga survey dengan berbagai tendensinya, tentu terkandung beberapa kebenaran. Pun, para Pemilih parpol yang masih setia memberikan suaranya pada pemilu memiliki alasan-alasan tertentu dengan berbagai sebab. Budaya pemfiguran, simbol-simbol perjuangan dan budaya amplop. Di antara deretan alasan pemilih, tidak lepas pula alasan paling mendasar yakni ikatan ideologis basis partai, seperti basis nasionalisnya PDIP, basis Islamnya PKS, PKB.

Medan tempur pemilu sangatlah panas, selain elit politik gaek berpengalaman muncul juga politisi muda yang mengorbit lewat jalur gerakan rakyat dan direkrut parpol. Pemilu ini sekaligus ajang penilaian proses konsistensi para aktivis gerakan untuk pada jalur pembangunan gerakan massa yang progresif dan mengarahkan pada perubahan sistematis. Yang ironi dalam keterlibatan aktivis muda dalam pertarungan pemilu 2009 adalah tidak lagi melihat garis ideologi parpol. Karena secara terang-terangan semua parpol masih mengusung sistem ekonomi kapitalis dan tunduk pada kebijakan neoliberalisme yang mengagungkan pada pasar bebas.

Dilihat dari fenomena tersebut, bisa jadi benar apa yang diprediksi oleh lembaga survey independen. Bahwa kekuatan parpol lama akan eksis berkuasa di parlemen, selain karena didukung oleh UU pemilu. Juga pada taktik rekrutmen figur aktivis gerakan rakyat baik dari ormas maupun LSM serta artis yang sudah dikenal publik luas dilakukan oleh Partai Golkar, PDIP dan Hanura.

Perang bintang pada pilpres dan gerilya politik

Lain hal di pemilihan presiden, tokoh lama masih akan mendominasi pertarungan. Dari sejumlah tokoh ini yang menarik adalah pertarungan para jenderal, di antaranya Wiranto, Prabowo, Sutiyoso, M Yasin dan SBY. Maka pilpres 2009 layak disebut “Perang Bintang.” Tokoh-tokoh sipil masih juga dengan muka-muka lama, di antaranya Megawati, Hamengkubuwono, Jusuf Kalla, Gus Dur dan Amin Rais. Hampir tidak ada tokoh baru dan muda yang muncul, apalagi tokoh yang selama ini dari gerakan rakyat.

Seperti biasa, ketika “arena lelang” telah dibuka, maka diiringi oleh promosi dan gerilya. Promosi terbuka sudah dilakukan dengan memamerkan barang dagangannya di spanduk, baliho, televisi. Sebuah upaya mendongkrak popularitas dari dunia “rayu-merayu” dengan mengeluarkan milliaran rupiah tanpa sebuah kerja nyata di tengah-tengah masyarakat. Setiap menit rakyat disuguhi tontonan, suara, tulisan yang berisi janji-janji belaka tanpa solusi konkrit. Sementara promosi dilakukan, juga dijalankan upaya gerilya serius kepada masyarakat.

Seperti yang kita dapatkan di beberapa daerah, PDIP menjual program buat petani dengan menyebar bibit padi unggul dengan gratis yang diberi nama “Mega 1 dan 2.” Bukan rahasia kalau Partai Hanura menggelontorkan jutaan rupiah di tengah masyarakat yang membuat kegiatan olahraga, seni dan keagamaan. Gerindra sebagai kendaraan Prabowo gencar memberikan bantuan ke petani dan nelayan. Pun, PKS dengan dalih pengajian dan bakti sosial membagikan sembako serta melakukan pemutaran film. Masih banyak gerilya politik yang terus menggerus kesadaran rakyat untuk kritis. Gerilya ini memang sedikit memberikan senyum rakyat miskin yang tengah dilanda kesulitan ekonomi.

Kita masih belum ada pilihan dalam kancah elektoral 2009, tetapi tidak untuk diam. Pilihan yang disediakan hanyalah karung-karung bekas berisi kucing-kucing garong. Maka satu satunya pilihan adalah dengan golput, tetapi golput ini harus memiliki bobot tawar yang tinggi. Jangan sampai seperti dalam pilkada golput tidak diperhitungkan karena tidak terorganisir dengan baik dan lebih beralasan teknis. Golput yang punya daya tawar adalah golput yang terorganisir dan memiliki alasan argumen yang jelas atas penolakan ikut pemilu s erta dikampanyekan dengan luas. Upaya mendata pemilih golput adalah awal kerja untuk membangun golput terorganisir.

Catatannya adalah golput yang terorganisir ini harus jadi basis kekuatan politik jangka panjang dan tidak berhenti setelah pemilu 2009. Dia harus dijadilam kekuatan yang solid menjawab problem politik negeri ini pada situasi-situasi yang mengharuskannya.

Ditulis Oleh M.Kholik*
Monday, 04 August 2008

This entry was posted at 11.25 . You can follow any responses to this entry through the comments feed .

0 komentar

Posting Komentar

Daftar Posting F-SP.LEM Kab.Tangerang