Upah – sebuah catatan ekonomi-politik

Posted by F.SP.LEM - K.SPSI KAB.TANGERANG

Ditulis Oleh Ken Budha Kusumandaru
Monday, 04 June 2007

Perjuangan untuk mendapatkan upah yang layak telah menjadi perjuangan kelas buruh sejak para kelas pekerja pertama kali muncul di atas muka bumi. Kurang lebih 8000 tahun lalu, para pekerja yang menggarap pembangunan piramida-piramida di Mesir telah mengadakan pemogokan untuk menuntut jatah makan yang lebih layak.


Mereka memang bukan kelas buruh industrial seperti yang kita temui di jaman ini. Pada masa-masa tanam, mereka bekerja sebagai petani. Namun, di masa paceklik atau di masa antar-waktu tanam, mereka dipekerjakan oleh Kerajaan Mesir untuk membangun berbagai monumen, antara lain piramida dan makam para raja. Namun, di saat bekerja sebagai buruh pembangun monumen, mereka menerima upah layaknya sistem kerja buruh modern.

Sedemikian panjangnya sejarah perjuangan mendapatkan upah layak, kita jadi seringkali menganggap bahwa perjuangan ini adalah perjuangan yang memang semestinya dilakukan di bawah sistem masyarakat yang tidak berpihak pada rakyat pekerja. Tapi, apa sebenarnya “upah” itu? Mengapa para pemberi kerja memberi upah pada para pekerja? Seberapa besar semestinya upah sehingga dapat dianggap layak?

Mitos tentang Upah

Pengertian yang banyak diterima umum mengenai upah adalah bahwa “upah” merupakan imbalan dari kerja yang diberikan buruh pada pengusaha. Dengan kata lain, pengusaha “membeli” kerja buruh. Namun argumen yang masuk akal ini dan bersahaja ini sesungguhnya mengandung banyak kesalahan dan akibat-akibat yang merugikan kelas pekerja.

Mari kita lihat dulu kesalahan-kesalahan mendasar dalam argumen ini. Pertama, kerja bukanlah komoditi (barang dagangan) seperti yang biasa kita kenal. Baiklah bila kita menganggap bahwa kita “menjual” kerja kita. Namun, demikian kerja itu kita berikan pada pengusaha di tengah jam-jam panjang proses produksi yang melelahkan, kerja itu diserap dan diubah oleh proses produksi itu menjadi sebuah tambahan nilai pada produk yang dihasilkan. Dengan begitu, kita menjual sesuatu yang memberi tambahan kekayaan pada majikan kita. Jika benar pengusaha membeli “kerja” kita, tentunya ia akan membayar sebesar nilai yang kita hasilkan dalam proses produksi. Jika kita mau ambil kesejajaran dengan agak menyederhanakan persoalan, kita bisa membandingkan proses pembentukan harga ini dengan harga benda-benda aji yang konon dapat memberi kekayaan pada pemiliknya. Sebuah keris yang disebut bertuah dapat dihargai jutaan, bahkan puluhan dan ratusan juta rupiah. Itu karena si pembeli berkeyakinan bahwa besi aji itu dapat memberinya kekayaan. Namun, buruh (yang sudah pasti akan memberi kekayaan pada pengusaha) tidaklah dibayar puluhan juta rupiah – melainkan pada tingkat upah minimum. Kesimpulannya, sama sekali tidak benar bahwa pengusaha membeli “kerja” buruhnya. Kita akan kembali pada tema ini di belakang.

Sekalian bicara tentang Upah Minimum. Inilah faktor kesalahan kedua dari argumen yang biasa kita pahami tentang upah. Jika benar pengusaha membeli “kerja” kita, maka ia akan memberi upah sesuai dengan ketrampilan yang kita miliki. Tapi, bukan itu yang kita temui dalam praktek. Kenyataannya, pengusaha selalu berusaha menghitung upah buruh berdasarkan kebutuhan hidup­-nya. Mau itu disebut Kebutuhan Fisik Minimum, Kebutuhan Hidup Minimum, atau Kebutuhan Hidup Layak – tetap kebutuhan yang menjadi dasar perhitungan, bukan keterampilan. Di samping itu, tingkat kebutuhan yang diakui oleh pengusaha, telah terbukti, tergantung pada negosiasi antara kepentingan buruh dengan kepentingan pengusaha. Jika kita bicara tentang negosiasi atau perundingan, kita bicara tentang perimbangan kekuatan antar pihak-pihak yang berunding. Kita juga sudah lihat bagaimana perjuangan untuk upah biasa melibatkan demonstrasi dan mogok kerja yang ditujukan untuk menekan lembaga-lembaga publik (negara) yang berwenang menetapkan upah. Dengan demikian, bukan nilai “kerja” yang menjadi landasan bagi penentuan upah, melainkan tingkat kebutuhan buruh, yang pengakuannya ditentukan lebih lanjut oleh tekanan dan perjuangan politik.

Adanya negosiasi upah dan diakuinya anggapan umum bahwa kerja adalah sebuah “komoditi” menimbulkan kesalahan yang ketiga, yakni anggapan bahwa dalam penentuan nilai kerja (=upah) berlaku hukum pasar, yakni permintaan dan penawaran. Padahal, dalam pengalaman praktek sehari-hari serikat buruh, bukan hukum pasar ini yang berlaku dalam perundingan. Melainkan di mana serikat buruhnya kuat, upah dan jaminan sosial lainnya pasti diberikan secara penuh – tidak jarang bahkan masih dilebihkan. Namun, di mana serikat lemah, hampir bisa dipastikan bahwa kesejahteraan juga tidak terjamin. Selain dari persoalan kekuatan serikat, yang artinya seberapa kuat posisi tawar buruh, upah yang tinggi biasanya ditemui di perusahaan-perusahaan besar yang menghasilkan keuntungan luar biasa besar. Pada kasus seperti ini, pengusaha membagi sedikit keuntungan yang diperolehnya pada buruh. Dengan kata lain, tinggi-rendahnya upah tidak tergantung pada pasokan dan permintaan ketenagakerjaan, melainkan pada seberapa mampu buruh menekan pengusaha agar membagi keuntungan mereka pada buruh.

Dengan argumen palsu itu, pengusaha dapat menerapkan berbagai sistem yang menguntungkan mereka. Yang pertama berkaitan dengan masalah “produktivitas”. Dengan alasan bahwa mereka sedang “membeli kerja”, pengusaha berusaha menekan buruh agar berproduktivitas setinggi mungkin. Entah dengan tekanan dan ancaman, atau dengan pemberian insentif, pengusaha berusaha memeras keuntungan semakin banyak dari keringat buruhnya. Padahal, kita sudah lihat bahwa mereka hanya memberi upah sebatas “kebutuhan hidup”. Sekalipun ada insentif, jumlahnya pastilah sangat jauh di bawah nilai tambah yang kita berikan pada pengusaha lewat kerja kita. Di samping itu, dengan bekerja melebihi batas kemampuan fisik dan mentalnya, seorang buruh justru memperpendek usia produktivitasnya sendiri. Kelelahan memicu penyakit dan penuaan dini. Selain daripada itu, semakin panjangnya waktu yang dihabiskan di tempat kerja (misalnya karena lembur), akan membuat keluarga tidak terurus – satu sumber stress dan tekanan lain bagi kesejahteraan buruh.

Untuk memberi kesan bahwa pengusaha sungguh-sungguh membeli keterampilan, kini diterapkan komponen upah tambahan berdasarkan sektor. Sektor-sektor yang dianggap membutuhkan ketrampilan tinggi akan mendapatkan upah minimum sektoral yang lebih tinggi dari sektor-sektor industri berteknologi rendah. Peraturan ini tengah diterapkan, misalnya saja, pada sektor otomotif. Namun, ukurannya kemudian menjadi rancu karena penentuan sektoral itu ditentukan oleh seberapa tinggi teknologi yang diterapkan oleh industri – bukan oleh seberapa terampil buruhnya. Satu pertanyaan sederhana: apakah seorang buruh bangunan yang menggunakan peralatan sekedarnya memang kurang terampil dibandingkan seorang operator robot pembuat mobil? Seorang buruh bangunan harus mengerahkan segenap ketrampilannya untuk membuat bangunannya kokoh dan dapat bertahan lama, sementara seorang operator robot cukup menekan beberapa tombol untuk menggerakkan robotnya. Siapapun yang pernah mencoba memasang sendiri ubin keramik (tanpa memanggil tukang) pasti tahu betapa sulitnya pekerjaan itu, dan betapa pekerjaan yang kelihataannya sederhana itu ternyata membutuhkan ketrampilan yang amat tinggi. Terlebih jika tidak memiliki peralatan yang memadai. Semakin tinggi teknologi, justru tingkat ketrampilan yang dibutuhkan untuk mengoperasikannya semakin rendah.

Dan melalui anggapan bahwa dalam penentuan upah berlaku hukum pasar, kelas pengusaha kemudian melancarkan tuduhan bahwa serikat buruh merupakan sebuah kekuatan yang “mendistorsi pasar” – dengan kata lain, serikat buruh adalah sebuah kekuatan monopoli, yang harus dihapuskan, sehingga sistem persaingan pasar dapat berjalan dengan lancar. Kenyataan yang kita temui, setelah serikat dibubarkan (biasanya pasca relokasi atau PHK massal), pengusaha melakukan tawar-menawar dengan intimidasi: “kalau kamu tidak mau menerima tingkat upah yang kami tawarkan, masih banyak orang lain yang kini menganggur ingin juga bekerja di sini.” Dengan kata lain, “hukum pasar” pada prakteknya adalah alat intimidasi agar buruh mau menerima tingkat upah yang murah. Hukum Pasar bukanlah sebuah hukum alam, atau hukum yang berlaku secara objektif, melainkan sebuah akal-akalan karangan pengusaha agar dapat menekan tingkat upah buruh.

Hakikat Upah

Kalau bukan seperti yang dipahami selama ini, apa sesungguhnya hakikat upah? Untuk memahami bagaimana upah terbentuk, kita harus lebih dahulu memahami sistem produksi kapitalis.

Seluruh proses sistem produksi kapitalis selalu dimulai dengan penyediaan modal. Modal ini, pada jaman ini, selalu berupa uang. Uang ini kemudian dibelanjakan barang-barang modal: alat kerja, permesinan, bangunan pabrik, bahan baku, dll. Sekalipun barang-barang modal ini telah terkumpul, si pemodal masih tetap kekurangan satu unsur yang terpenting: buruh yang akan mengerjakan proses produksi ini. Pada usaha skala mikro (kecil sekali, misalnya pedagang gorengan atau tukang baso) si pemodal sekaligus merangkap sebagai buruh karena ia masih sanggup mengerjakan semua pekerjaan sendiri. Namun, dalam skala yang lebih besar (misalnya warung tenda atau warteg) sudah tidak ada lagi pekerjaan yang sanggup diselesaikan sendiri semuanya. Mulai dari skala kecil sampai skala lintas-negara (trans-nasional) pengusaha sudah harus menyertakan buruh. Dan dalam tiap usaha yang menyertakan buruh, kita menemui usaha untuk menekan upah buruh. Pengusaha kecil, misalnya, menggunakan tenaga keluarganya sendiri sebagai buruh supaya tidak usah memberikan bayaran. Seringkali anggota keluarganya dianggap “menumpang makan” padanya sehingga ia tidak merasa perlu mengeluarkan upah secara khusus.

Konsep “menumpang makan” inilah yang sesungguhnya merupakan dasar konsep upah. Di masa lalu, ketika kapitalisme masih dalam masa kanak-kanaknya, sistem produksi besar belumlah menjadi norma. Produksi modern pertama dilangsungkan dalam bentuk gilda, atau padepokan. Seorang tukang atau empu yang dianggap ahli akan mengangkat beberapa murid atau cantrik. Cantrik-cantrik ini akan bekerja di bengkel sang empu, mengerjakan tugas-tugas sang empu, tanpa dibayar sepeser pun selain diberi makan-minum secukupnya. Mereka mengerjakan ini dengan sukarela dengan harapan mendapatkan kucuran ilmu sang empu. Pada gilirannya, jika mereka telah lulus, mereka akan membukan bengkel mereka sendiri.

Karena sistem produksi kapitalis modern berkembang dari sistem gilda ini, banyak fitur dari sistem ini yang diadopsi oleh kapitalisme. Kebetulan, sistem pengupahan dalam gilda, yang hanya sekedar untuk makan-minum (baca: bertahan hidup) cocok dengan hukum dasar kapitalisme yakni pertukaran dengan sistem pasar. Kerja manusia kemudian dianggap sebagai sebuah komoditi yang diperjualbelikan di pasar tenaga kerja.

Namun demikian, kerja manusia mengandung dua aspek yang sebenarnya tidak terpisahkan: (1) kemampuan manusia menghadirkan kerja itu, dan (2) kerja riil yang dilakukannya atas material produksi tertentu. Kongkritnya begini: ketika seorang buruh sakit, ia tidak dapat hadir di pabrik untuk bekerja. Atau kalaupun ia hadir, kerja yang dilakukannya juga tidak dengan sepenuh kemampuannya. Dari kedua aspek kerja manusia ini, ternyata pengusaha hanya membayar untuk aspek pertama, kemampuan manusia untuk menghadirkan kerja. Pengusaha tidaklah membayar seorang buruh untuk kerja yang dilakukannya di pabrik, melainkan untuk menjaganya agar tetap dapat hadir di pabrik. Karena seorang buruh akan terus hadir selama ia sehat, maka ia akan diupah sesuai nominal yang dibutuhkannya agar tetap sehat.

Di titik inilah kapitalisme menghadirkan ketidakadilan di atas muka bumi, sebab pertambahan nilai yang dihasilkan seorang buruh dalam proses produksi biasanya berjumlah jauh lebih besar daripada total biaya yang dibutuhkan untuk menghadirkan dirinya ke pabrik. Mari kita coba perjelas dengan contoh. Misalnya saja, seorang buruh ditarget mengerjakan 30 piece celana dalam sehari. Jika satu piece celana dijual seharga Rp 50 ribu, sedangkan harga bahannya dan biaya-biaya lain sekitar Rp 30 ribu per piece, maka buruh tersebut akan memberi Rp 20 ribu per piece per hari pada pemilik pabrik, totalnya Rp 600 ribu per hari. Sementara ia hanya diupah sekitar Rp 27 ribu per hari (UMP DKI Jakarta). Jadi, setelah selesai mengerjakan piece yang kedua, sesungguhnya si buruh sudah impas. Bahkan ia sudah memberi pada pemilik pabrik keuntungan yang lebih besar daripada yang upah yang dibayar pengusaha itu untuk menghadirkan dirinya ke pabrik. Tapi, ia tidak diperbolehkan berhenti bekerja, karena ia sudah dibayar untuk hadir delapan jam sehari. Maka, pengusaha akan terus mengeruk keuntungan dari selisih antara biaya yang dikeluarkannya sebagai upah, dan nilai yang dihasilkan buruh melalui kerja. Selisih inilah yang disebut “nilai lebih” atau surplus value. Dari sinilah datangnya profit – dan konsentrasi kekayaan di tangan segelintir pengusaha.

Sejalan dengan perkembangan proses produksinya, pengusaha menyadari bahwa jika buruh hanya diupah cukup untuk sekedar makan-minum, barang-barang produksi kapitalis tidak akan dapat diserap pasar. Ini karena dalam masyarakat industrial, mayoritas anggota masyarakat adalah buruh. Dengan demikian, buruh adalah juga konsumen yang diandalkan kapitalis untuk membeli produknya. Maka kemudian pengusaha membagi sedikit keuntungan yang telah diperasnya dari keringat buruhnya, untuk peningkatan upah.

Kebutuhan objektif kapitalisme untuk membuat buruh menjadi konsumen, dan perjuangan naluriah buruh untuk lepas dari kesengsaraan dan kemiskinan, telah membuka ruang bagi perjuangan upah.

Dengan demikian, jika kita perhatikan hakikatnya, perjuangan untuk peningkatan upah bukanlah perjuangan sejati untuk menghapuskan ketidakadilan dalam sistem kapitalis. Perjuangan itu adalah untuk merebut kembali sebagian dari kekayaan yang telah diperas dan dihisap kapitalis dari kerja buruh. Sekalipun perjuangan peningkatan upah dilakukan dengan puncak-puncak radikalisme, perjuangan itu tetaplah berwatak reformis – karena hanya meringankan kesengsaraan, bukan menghapuskan ketidakadilan.

Perjuangan peningkatan upah hanya akan bermakna jika dilancarkan dengan kesadaran bahwa peningkatan kesejahteraan yang didapatkan melalui peningkatan upah akan dipergunakan untuk meningkatkan kemampuan politik dan organisasional kelas pekerja – dalam rangka melancarkan perjuangan sejati untuk melepaskan umat manusia dari penghisapan dan ketidakadilan kapitalisme. Upah yang meningkat haruslah dimanfaatkan untuk membuat buruh aktif membiayai pendidikan dan pengolahan ketrampilan kelas pekerja secara umum, termasuk penguatan serikat-serikat.

Namun demikian, perjuangan untuk mendapatkan upah yang lebih layak seyogyanya terus dilancarkan oleh organisasi-organisasi kelas pekerja. Perjuangan ini adalah perjuangan yang paling alamiah dan naluriah bagi kelas pekerja – dan tentu akan meningkatkan popularitas organisasi kelas pekerja dihadapan massanya sendiri. Kepopuleran organisasi ini, pada gilirannya, akan mempermudah upaya menyadarkan massa kelas pekerja tentang makna sejati perjuangan peningkatan upah.

Menghitung Upah yang Layak

Jika kita menerima bahwa perjuangan upah merupakan perjuangan yang berada dalam kerangka kapitalisme, maka dasar penetapan upah tetaplah proses jual-beli antara buruh dan pengusaha. Dengan demikian, tingkatan upah haruslah sesuai dengan biaya yang diperlukan untuk menghadirkan kemampuan kerja seorang buruh yang sehat secara fisik dan mental di pabrik.

Kebutuhan Fisik, dapat dijabarkan sebagai kebutuhan untuk menjaga kesehatan ragawi buruh, agar ia dapat bekerja dengan segenap tenaga dan sanggup berkonsentrasi penuh selama bekerja. Dengan demikian, komponen pokok dari Kebutuhan Fisik adalah kecukupan gizi, baik untuk tubuh maupun otak. Tapi, untuk dapat menghadirkan seorang yang sehat ke dalam proses kerja, dibutuhkan pula biaya untuk menciptakan kesempatan beristirahat dan memulihkan (restorasi) tenaga yang telah dihabiskan dalam proses produksi. Komponen biaya tempat tinggal (termasuk listrik dan air) dan rekreasi masuk dalam kategori ini. Di samping itu, seorang buruh harus juga menjaga kesehatan fisik dan lingkungannya – antara lain dengan mandi, berpakaian yang layak dan sehat, dan berolahraga. Komponen pokok terakhir adalah biaya yang dibutuhkan untuk menghadirkan buruh tersebut secara fisik di pabrik – dengan kata lain, biaya transportasi.

Kebutuhan Mental, mencakup persoalan bagaimana buruh tersebut menjaga martabat dirinya di tengah pergaulan sosial. Oleh karena itu, kebutuhan berhias diri dan keterlibatan dalam aktivitas sosial di tengah lingkungan tempat tinggal harus pula ditanggung oleh pengusaha yang membeli tenaga buruh tersebut. Seorang buruh juga harus terus meng-upgrade dirinya, meningkatkan pengetahuannya agar tidak menjadi bahan olok-olok sosial semacam gaptek atau gagap teknologi. Ia harus banyak membaca dan mendegar/menonton berita, ia juga harus mendapatkan buku-buku yang dapat menuntunnya lebih memahami dunia. Selain itu, seorang buruh, sebagai manusia, juga memiliki kebutuhan komunikasi. Maka, biaya komunikasi jarak jauh juga harus masuk dalam komponen upah.

This entry was posted at 11.38 . You can follow any responses to this entry through the comments feed .

0 komentar

Posting Komentar

Daftar Posting F-SP.LEM Kab.Tangerang